Selasa, 04 Februari 2014

Nilai-Nilai Pendidikan dalam Novel Pincalang Karya Idris Pasaribu

NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM NOVEL PINCALANG KARYA IDRIS PASARIBU Skripsi Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana Pendidikan (S1) pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan ilmu Pendidikan Universitas Lakidende OLEH SUPRAYOGI 209 502 038 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAKIDENDE UNAAHA 2013   HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM NOVEL PINCALANG KARYA IDRIS PASARIBU Oleh : SUPRAYOGI 209 502 038 Telah diperiksa dan disetujui untuk dipertanggungjawabkan di hadapan Panitia Ujian Skripsi pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Lakidende. Unaaha, Februari 2014 Menyetujui, Pembimbing I Pembimbing II Dr. Aris Badara, M.Hum. Guntur, S.Pd.,M.Hum.   DAFTAR PUSTAKA Amrin, Muh.Asran.2012. “Analisis nilai-nilai edukatif yang terkandung dalam novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi.” Skripsi. Unaaha: Universitas lakidende. Bustan, S.Q, Irwan. 2011. Tinjauan Psikologi Sastra. Ponorogo. Darmono, Sapardi Djoko. 2003. “Kita dan Sastra Dunia”. Dalam www.mizan.com. diakses pada tanggal 26 November 2009. Firman. 2012. “Bulletin Al Ilmu”. Jember : Ma’had As-salafy. Hadi, 2003 . “Analisis gaya Bahasa dan Nilai Pendidikan Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata”. Skripsi. Surakarta: Progaram Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNS (tidak diterbitkan). Moleong, J. Lexy. 2001. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Nurgiantoro, Burhan. 2000. teori pengkajian fiksi. Yogyakarta : Gajah mada University press. Qomar, 2005. A Glossary of Literary Terms, Seventh Edition, Boston: Heinle and Heinle Thomson Learning. Pasaribu, Idris. Penerbit Salsabila Pustaka Alkautsar, Pincalang. Jakarta Timur. April 2012. Pradopo, Rachmad Djoko. 2005. Beberapa Teori Sastra, Metode, Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rahim, abdul. 2012. Analisis nilai pendidikan yang terdapat dalam novel sang pemimpi karya Andrea Hirata. Pendidikan Bahasa dan sastra Indonesia dan daerah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Mataram. Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rubiyanto. 2004. Kamus Istilah Sastra. Jakarta : Gramedia. ………..2000. Teori Pengkajian Fiksi. Jakarta: Gramedia. Suyatmi, Dra. Titiek. 2009. Kajian Intertekstual dan nilai pendidikan antara\ Novel Memoris Of a Geisha karya Arthur Golden dengan Novel Kembang Jepun Karya Remy Sylando.Surakarta. Tilaar 2002 . Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: PT Hanindita Graha Uzey. 2009. “Macam-macam Nilai”. Dalam http://uzey.blogspot.com/2009/09/ Wellek, Rene dan Austin Warren. 2000. Teori Kasusastraan (Terjemahan Melanic Budianti). Jakarta: Gramedia. Zaidan, Abdul Razak. 2000. Kamus istilah Sastra. Jakarta : Balai Pustaka. DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ii HALAMAN PENGESAHAN iii HALAMAN UCAPAN TERIMA KASIH iv DAFTAR ISI vi ABSTRAK vii BAB I PENDAHULUAN 1 A. Latar belakang 1 B. Rumusan masalah 4 C. Tujuan penelitian 4 D. Manfaat penelitian 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6 A. Konsep Novel 6 1. Pengertian Novel 6 2. Unsur-unsur Novel 7 3. Unsur Instristik Novel 7 4. Unsur Ekstrinsik Novel 9 B. Konsep Nilai 10 1. Pengertian Nilai 10 2. Pengertian Pendidikan 11 3. Macam-macam Nilai Pendidikan 13 a. Nilai Pendidikan Religius 14 b. Nilai Pendidikan Moral 16 c. Nilai Pendidikan Sosial 17 d. Nilai Pendidikan Budaya 18 C. Sosiologi Sastra 20 D. Teori Struktural 21 E. Hubungan Sastra dan pendidikan 22 BAB III METODE PENELITIAN 25 A. Jenis dan Teknik Penelitian 25 B. Data dan Sumber Data 25 C. Teknik Pengumpulan Data 26 D. Teknik Analisis Data 26 BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 27 A. Tinjauan tentang Novel Pincalang karya Idris Pasaribu 27 B. Nilai-nilai Pendidikan 41 1. Nilai Pendidikan Religius 41 2. Nilai Pendidikan Moral 46 3. Nilai Pendidikan Sosial 49 4. Nilai Pendidikan Budaya 55 C. Relevansi Hasil penelitian dengan Pembelajaran Sastra di Sekolah 59 BAB V PENUTUP 61 A. Kesimpulan 61 B. Saran 62 DAFTAR PUSTAKA 64 LAMPIRAN 66   ABSTRAK Suprayogi, Stambuk 209 502 038 : Nilai-nilai Pendidikan Dalam Novel Pincalang Karya Idris Pasaribu. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa sastra mencerminkan kehidupan masyarakat. Novel Pincalang mempunyai nilai pendidikan positif yaitu penjelasan mengenai nilai-nilai keteladanan terhadap kelastarian alam sehingga dapat dijadikan panutan atau masukan bagi penikmatnya. Novel Pincalang memberikan gambaran secara jelas kepada pembaca mengenai nilai-nilai pendidikan yang dapat bermanfaat bagi kehidupan. Masalah dalam penelitian ini adalah “Nilai-nilai pendidikan apa sajakah yang terdapat dalam novel Pincalang karya Idris Pasaribu. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam novel Pincalang Karya Idris Pasaribu. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Objek penelitian adalah nilai-nilai pendidikan tokoh-tokoh fiksional dalam novel Pincalang karya Idris pasaribu, sumber data yang dipakai adalah novel Pincalang karya Idris Pasaribu terbitan tahun 2012, jumlah halaman 256, penerbit Sassabila Pustaka Alkautsar Jakarta Timur. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik baca-catat. Teknik baca dilakukan dengan membaca keseluuhan novel untuk memperoleh inormasi tentang nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam novel Pincalang karya Idris Pasaribu. Teknik catat dilakukan dengan mencatat bagian-bagian yang mengandung nilai-nilai pendidikan. Data penelitian ini dianalisis dengan mengunakan pendekantan strukturan dan sosiologi sastra. Penggunaan pendekatan ini dimaksudkan untuk mengungkapkan nilai pendidikan yang terdapat dalam novel Pincalang karya Idris Pasaribu. Berdasarkan hasil pembahasan dan analisis data dapat disimpulkan bahwa dalam novel Pincalang terdapat nilai-nilai pendidikan yaitu nilai pendidikan religius/agama, nilai pendidikan moral, nilai pendidikan sosial dan nilai pendidikan Oleh karena itu, novel ini dapat dijadikan sebagai bahan pelajaran di sekolah, sebagai acauan bagi siswa untuk mengenal lebih jauh pembelajaran kesastraan dengan menerapkan analisis struktural dalam telaahnya.   UCAPAN TERIMA KASIH Alhamdulillah segala puji dan syukur hanya kepada Allah Swt yang telah melimpahkan rahmat dan anugerahnya, sehingga sampai saat ini kita masih ada dalam petunjuknya serta tak lupa sholawat dan salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw serta keluarga, sahabatnya dan para pengikutnya yang setia hingga akhir zaman. Amin. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu saran dan kritik yang konstruktif dari berbagai pihak sangat dibutuhkan demi perbaikan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis seharusnya menyampaikan terima kasih kepada bapak Dr.Aris Badara,M.Hum selaku pembimbing I dan bapak Guntur, S.Pd.,M.Hum. selaku pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktunya dalam memberikan arahan dan bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Terwujudnya skripsi ini tidak lepas bantuan dari berbagai pihak, baik moril maupun materil. Oleh karena itu, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada: 1. Ir. Saiful Bahri,M.Si. Selaku rektor Universitas Lakidende. 2. Dr.H.Haslan,M.Pd. selaku dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lakidende. 3. Ani Wulandari, S.Pd.,M.Hum. selaku Ketua Progran Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. 4. Para Dosen Lingkup Pendidikan dan Sastra Indonesia serta Staf Administrasi. 5. Sahabat-sahabat seprogram Studi dan seangkatan 2009. Ucapan terimakasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada kedua orang tua tercinta yaitu Bapak Nasir Tekaka, BSc. dan Ibu Nursan yang tiada henti-hentinya mendoakan anaknya dalam berbagai hal termasuk dalam menuntut ilmu dan atas jeri payah dalam mengasuh dan membesarkan anaknya dengan tulus ikhlas sehingga penulis mencapai jenjang pendidikan hingga saat ini. Kiranya penulis tak lupa mengucapkan terima kasih kepada saudara-saudariku : Muh.Nuzul,S.T. Ust.Arifin, Ilham dan Serlin Tekaka, serta keluargaku yang telah banyak memberikan dorongan dan doa serta perhatian yang telah tercurahkan kepadaku. Atas segala jasa yang teah diberikan ucapan terima kasih dan semoga mendapat pahala yang setimpal disisi Allah Swt. Amin. Unaaha, Februari 2014 Penulis     HALAMAN PENGESAHAN Skripi ini telah disetujui dan dipertanggungjawabkan dihadapan panitia ujian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Novel merupakan karya sastra yang menceritakan manusia dan kehidupan manusia. Novel sebagai salah satu bentuk karya sastra diharapkan memunculkan nilai-nilai pendidikan positif bagi penikmatnya, sehingga mereka peka terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan kehidupan sosial dan mendorong untuk berprilaku yang baik. Novel juga merupakan ungkapan fenomena sosial dalam aspek-aspek kehidupan yang dapat digunakan sebagai sarana mengenal manusia dan zamannya. Novel yang semakin bersinar di masa kini tak lain adalah cerita yang berkelanjutan tentang manusia yang di- poles sedemikian rupa oleh penulis-penulis yang kreatif. Terpilihnya novel Pincalang, dilatarbelakangi oleh adanya keinginan untuk menemukan dan mengkaji lebih dalam lagi mengenai nilai-nilai pendidikan yang terdapat pada perilaku tokoh-tokoh dalam novel ini. Novel ini banyak mempunyai nilai pendidikan, baik itu nilai pendidikan moral, nilai pendidikan sosial, nilai pendidikan religius atau agama dan nilai pendidikan budaya. Salah satu contoh nilai pendidikan dalam novel ini adalah bagaimana ia mengajarkan cara menjaga dan melestarikan alam, khususnya biota laut yang menjadi sumber kehidupan orang-orang pesisir pulau, sehingga dapat dijadikan panutan atau masukan bagi pembacanya. Novel Pincalang dipilih juga karena memiliki kelebihan-kelebihan dalam isi maupun bahasanya yang mudah dipahami. Dari segi bahasanya ialah gaya bahasa Sumatera barat yang akrab dan masih kental dengan bahasa melayunya, mudah dicerna, dengan kritik-kritik yang segera mengajak pembaca membuat perenungan, yang sebenarnya memiliki kandungan makna dan filosofi kehidupan. Selain budaya kemaritiman yang banyak diekspos dalam novel Pincalang, Amat juga menghadirkan tokoh yang sangat mencerminkan orang-orang Sumatera pada umumnya. Dari segi isinya, novel Pincalang menceritakan kejayaan kapal kayu pada masanya yang disebut “Pincalang” di sepanjang pesisir barat laut Sumatera, beserta kebiasaan dan kebudayaan setempat. Dulu masyarakat ini boleh dikata lahir dan menghabiskan hampir seluruh masa kehidupannya di atas pincalang. Sayang, kini telah hilang dan semakin luntur dari ingatan, karena tergerus kemajuan zaman yang lebih modern. Namun, walaupun dilanda kehidupan modern yang begitu pesat dan tak terkendali, sehingga pengambilan biota-biota laut sudah melampaui batas, tapi masih ada orang yang peduli dan mau menjaga biota-biota laut dialah Amat yang selama hidupya ikut dengan ayahnya mengelilingi lautan. Sejak berusia lima tahun, di atas perahu itu pula ia belajar shalat dan mengaji dari ibunya. Ayah amat mengajarinya menaik turunkan layar, mengemudi, melihat bintang, merasakan angin dan belajar mencium bau karang dari haluan, dan buritan. Ia manusia pincalang yang menghabiskan hidupnya di atas perahu. Mereka diajarkan oleh kearifan lokal untuk menjaga laut agar mendapatkan yang terbaik dari alam. Lewat pesan inilah bagaimana Amat ingin selalu dan selamanya menjaga kehidupan laut. Nilai-nilai pendidikan dalam novel ini juga begitu tercermin dari perilaku Amat yang tidak ingin selalu diperbodohi oleh orang-orang darek sebutan untuk orang-orang darat dan para tauke sebutan untuk orang-orang cina dalam hal perdagangan. Oleh karena itu, Amat memutuskan untuk tinggal dan menetap di darat setelah menikahi Maryam dan mempelajari berbagai jenis perdagangan. Mereka dikaruniai tiga orang anak, yang sulung diberi nama Buyung, ia pun di sekolahkan Amat, agar pintar dan tidak diperbodohi oleh orang-orang darat. Dengan kerja keras yang gigih, akhirnya Amat dapat melihat Buyung sukses sebagai nahkoda kapal, seperti yang dicita-citakannya. Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi sastra, karena dalam novel Pincalang membahas mengenai kehidupan sehari-hari oleh tokoh dengan masyarakat sekitarnya yang ada dalam novel tersebut. Sosiologi sastra merupakan gabungan dan sistem pengetahuan yang berbeda. Sosiologi adalah bidang ilmu yang menjadikan masyarakat sebagai objek materi dan kenyataan sosial sebagai objek formal. Sosiologi mencoba mencari tahu bagaimana hubungan masyarakat dan bagaimana ia berlangsung hidup dan bagaimana ia tetap ada dalam kehidupan, dengan mempelajari lembaga-lembaga sosial dan segala masalah perekonomian, keagamaan, politik, dan lain-lain yang kesemuanya itu merupakan struktur sosial. Adapun alasan diangkatnya nilai-nilai pendidikan sebagai bahan kajian, karena novel ini mempunyai kelebihan tersendiri yang bersifat mendidik para pembacanya. Apalagi di dukung tokoh utama yang merupakan orang yang memiliki semangat juang hidup dalam memberantas kebodohan dikalangannya dan dalam mempertahankan biota laut, ia terus beredukasi agar kehidupannya terus berlanjut, hingga anak cucunya kelak dapat merasakan dan menikmati keindahan biota-biota laut yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Motivasi peneliti dalam mengkaji novel ini adalah karena novel sastra ini masih tergolong baru dan belum banyak yang melakukan penelitian terhadap novel tersebut, sehingga menarik minat kami dalam mengkaji novel tersebut dengan mengangkat judul nilai-nilai pendidikan dalam novel Pincalang karya Idris Pasaribu. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, maka masalah dalam penelitian ini adalah nilai-nilai pendidikan apa sajakah yang terdapat dalam novel Pincalang Karya Idris Pasaribu ? C. Tujuan Penelitian Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan nilai-nilai pendidikan dalam novel Pincalang karya Idris Pasaribu. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat baik bagi peneliti maupun bagi para pembaca. a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan perkembangan ilmu sastra. b. Hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk memperkaya penggunaan teori-teori sastra secara teknik analisis terhadap karya sastra. c. Bagi pengarang, penelitian ini dapat memberikan masukan untuk dapat membuat karya sastra yang lebih baik lagi. d. Bagi pembaca, penelitian ini diharapkan menambah minat baca dalam mengapresiasikan karya sastra. e. Bagi peneliti, penelitian ini dapat memperkaya wawasan sastra dan menambah khasanah penelitian sastra Indonesia sehingga bermanfaat bagi perkembangan sastra Indonesia. f. Bagi siswa, diharapkan semakin jeli dalam memilih bahan bacaan (khususnya novel) dengan memilih novel-novel yang mengandung pesan moral yang baik, seperti novel Pincalang Karya Idris Pasaribu yang banyak mengandung nilai pendidikan positif sehingga mampu menjadi panutan bagi yang membacanya. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Novel 1. Pengertian Novel Novel merupakan cerita yang ditulis seseorang secara panjang lebar, yang di dalamnya berisikan tokoh-tokoh, baik itu fiksi ataupun non fiksi. Tokoh-tokoh tersebut mempunyai karakter yang berbeda-beda yang kemudian nanti akan dideskripsikan secara terperinci mengenai kehidupan tokoh-tokoh tersebut. Hal ini selaras yang dikemukankan oleh Nurgiantoro, lihat Sri Suryana Dinar, (2008:41) menyatakan bahwa “Novel merupakan sebuah karya sastra fiksi yang lebih panjang dari pada cerpen dan novelet, yang mengemukakan sesuatu secara lebih jelas, lebih banyak, lebih rinci dan kompleks”. Sejalan dengan hal tersebut, Zaidan, lihat Sri Suryana Dinar, (2008:42) berpendapat bahwa novel merupakan jenis prosa yang mengandung unsur tokoh, alur, rekaan yang menjelaskan kehidupan manusia atas dasar sudut pandang yang mengandung nilai hidup. Berdasarkan beberapa pendapat yang dikemukakan di atas maka dapatlah disimpulkan bahwa novel merupakan jenis prosa yang mangandung unsur tokoh, alur, rekaan yang menjelaskan kehidupan manusia atas dasar sudut pandang yang mengandung nilai hidup. 2. Unsur-Unsur Novel Unsur-unsur novel adalah unsur yang berada di dalam maupun di luar novel tersebut dan secara garis besar unsur-unsur novel telah digambarkan oleh Nurgiyantoro, lihat Sri Suryana Dinar, (2008:45) unsur-unsur novel dapat dikelompokan menjadi dua bagian yaitu unsur instristik dan unsur ekstrinsik. Unsur instrisik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra dari dalam, yang meliputi segala unsur yang membentuk struktur karya sastra tersebut seperti alur, tokoh, latar, tema, dan amanat, pusat pengisahan, dan gaya bahasa. Unsur ekstrinsik adalah unsur yang ikut mempengaruhi kehadiran suatu cipta sastra dari luar atau merupakan latar belakang penciptaan suatu cipta sastra, misalnya faktor sosial ekonomi, faktor kebudayaan, faktor sosial politik, faktor sejarah, faktor ilmu jiwa (psikologi) dan pendidikan, faktor keagamaan, dan tata nilai yang dianut dalam masyarakat. Berikut dipaparkan unsur-unsur instristik novel yang meliputi alur, tokoh dan penokohan, latar, tema, dan amanat, pusat pengisahan, dan gaya bahasa. 3. Unsur Instristik Novel a. Alur Alur cerita adalah sambung-sinambung peristiwa yang terjadi berdasarkan hukum sebab akibat yang terdapat dalam cerita. Dalam Semi, lihat Suryana Dinar, (2008:46) mengemukakan plot sebagai bagan atau kerangka kejadian di mana para peran berbuat. Plot adalah suatu keseluruhan peristiwa di dalam skenario. Serangkaian hubungan sebab akibat yang bergerak dari awal hingga akhir. Bertolak dari pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa alur adalah unsur penceritaan prosa fiksi yang di dalamnya berisi rangkaian keadilan peristiwa yang disusun berdasarkan hukum sebab akibat secara logis. b. Tokoh dan Penokohan Tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berkelakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita. Tokoh lazim pula disebut sebagai pelaku cerita. Tokoh ini pada umumnya berwujud manusia, tetapi dapat pula berwujud binatang atau benda yang diinsankan. Tokoh tersebut bersifat rekaan semata-mata, tetapi bisa jadi ada kemiripannya dengan individu tertentu dalam hidup ini. Meskipun bersifat rekaan, namun perlu ada relevansi antara tokoh itu dengan pembaca. Jadi tokoh itu hendaklah memiliki sifat-sifat yang tidak asing bagi pembaca, yakni sifat yang mirip dengan pembaca atau setidak-tidaknya ada sesuatu pada diri tokoh yang juga ada pada diri pembaca. c. Latar Cerita Unsur fiksi yang menunjukkan kepada kita di mana dan kejadian-kejadian dalam cerita berlangsung disebut latar. Sebuah cerita haruslah terjadi disebuah tempat dan waktu tertentu. Abrams Nurgiantoro, lihat Sri Suryana Dinar, (2008:45) mengemukakan bahwa latar sebagai landas tumpu mengarah pengertian tempat, hubungan waktu dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. d. Tema dan Amanat Tema adalah ide yang mendasari karya sastra. Istilah tema berasal dari “thema”(inggris), yaitu ide yang menjadi pokok suatu pembicaraan atau ide pokok suatu tulisan. Berbicara tentang amanat sebuah cerita, dalam Sudjiman, lihat Sri Suryana Dinar,(2008:55) mengemukakan bahwa dari sebuah karya sastra adakalanya dapat diangkat suatu ajaran moral atau pesan yang diingin sampaikan oleh pengarang itulah yang disebut amanat. Amanat adalah pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca cerita yang ditampilkan. 4. Unsur Ekstrinsik Novel Unsur yang berada di luar karya sastra disebut unsur ekstrinsik. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Nurgiantoro, lihat Sri Suryana Dinar,(2008:56) mengatakan “Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra”. Yang meliputi unsur biografi pengarang akan turut menentukan corak karya yang dihasilkannya. Unsur psikologi baik yang berupa psikologi pengarang (yang mencakup proses kreatifnya), psikologi pembaca, maupun penerapan prinsip psikologi dalam karya. Selain itu, keadaan di lingkungan pengarang seperti ekonomi, sosial, politik, dan pendidikan. Selain itu Viemufidah, lihat Sri Suryana Dinar, (2008:59) mengemukakan “Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra dari luar” meliputi : 1. Latar belakang kehidupan pengarang 2. Pandangan hidup pengarang 3. Situasi sosial, budaya yang melatari lahirnya karya sastra tersebut. Dari kedua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada di luar karya sastra, misalnya biografi pengarang, pandangan hidup, serta status sosial, ekonomi, budaya dan pendidikan. B. Konsep Nilai 1. Pengertian Nilai Nilai adalah sesuatu yang berguna dan baik yang dicita-citakan dan dianggap penting oleh masyarakat. Sesuatu dikatakan mempunyai nilai, apabila mempunyai kegunaan, kebenaran, kebaikan, keindahan dan religiositas. Nilai bisa juga diartikan sesuatu yang bermutu dan menunjukkan kualitas bagi manusia. Sesuatu itu bernilai berarti sesuatu itu berharga atau berguna bagi kehidupan manusia dan jika kita mendeskrisikan sebuah nilai, maka akan kita jumpai banyak pengertian tentang nilai. Dalam Qomar, Lihat Irwan B.S.Q, (2013) menyatakan bahwa nilai adalah batasan yang dapat memberikan penghargaan tertinggi kepada manusia dan lingkungannya. Menurut Alwi, (2007: 783), “Nilai adalah konsep abstrak mengenai masalah dasar yang sangat penting dan bernilai di kehidupan manusia yang bersifat mendidik. Dari pendapat para ahli di atas, ditarik kesimpulan bahwa nilai adalah keyakinan yang mampu mempengaruhi cara berpikir, cara bersikap maupun cara bertindak dalam mencapai tujuan hidup jika dihayati dengan baik. Nilai adalah sifat yang positif dan bermanfaat dalam kehidupan manusia dan harus dimiliki setiap manusia untuk dipandang dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai disini dalam konteks etika (baik dan buruk), logika (benar dan salah), estetika (indah dan jelek). 2. Pengertian Pendidikan Secara etimologis, pendidikan berasal dari bahasa Yunani “Paedogogike”, yang terdiri atas kata “Pais” yang berarti Anak” dan kata “Ago” yang berarti “Aku membimbing”, (Hadi 2003:17). Hakikat pendidikan bertujuan untuk mendewasakan anak didik, maka seorang pendidik haruslah orang yang dewasa, karena tidak mungkin dapat mendewasakan anak didik jika pendidiknya sendiri belum dewasa. Tilaar, (2002;435) mengatakan hakikat pendidikan adalah memanusiakan manusia. Selanjutnya dikatakan pula bahwa, memanusiakan manusia atau proses humanisasi melihat manusia sebagai suatu keseluruhan di dalam eksistensinya. Eksistensi ini menurut penulis adalah menempatkan kedudukan manusia pada tempatnya yang terhormat dan bermartabat. Kehormatan itu tentunya tidak lepas dari nilai-nilai luhur yang selalu dipegang umat manusia. Nilai pendidikan dibatasi oleh manusia seutuhnya dalam fenomena atau situasi pendidikan sosial manusia itu sering berprilaku tidah utuh, hanya menjadi makhluk berprilaku individu atau makhluk sosial. Hal ini sesuai dengan pandangan Gutek, dalam Rubiyanto, (2004) menyatakan bahwa proses pendidikan menunjukkan kegiatan yang sangat luas dalam keseluruhan proses sosial yang membawa individu dalam kehidupan. Proses pendidikan membantu manusia menjadi sadar akan kenyataan-kenyataan hidup tersebut dan akan berusaha menemukan jati dirinya sehingga dapat menjauhkan diri dari kekacauan. Pendidikan juga bisa berarti usaha sadar yang dilakukan manusia dalam upaya mengembangkan potensi-potensi dalam diri seseorang menuju ke arah kedewasaan sehingga dapat berinteraksi sebagai anggota masyarakat dan sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa nilai pendidikan adalah batasan segala sesuatu yang mendidik ke arah kedewasaan, bersifat baik maupun buruk sehingga berguna bagi kehidupannya yang diperoleh melalui proses pendidikan. Proses pendidikan bukan berarti hanya dapat dilakukan dalam satu tempat dan suatu waktu. Pendidikan juga dapat dilakukan dengan pemahaman, pemikiran, dan penikmatan karya sastra. Karya sastra sebagai pengemban nilai-nilai pendidikan diharapkan keberfungsiannya untuk memberikan pengaruh positif terhadap cara berpikir pembaca mengenai baik dan buruk, benar dan salah. Hal ini disebabkan karena karya sastra merupakan salah satu sarana mendidik diri serta orang lain sebagai unsur anggota masyarakat. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, nilai pendidikan akan ditimbulkan dari diri tokoh fiksional novel Pincalang. Nilai pendidikan yang dapat dipelajari atau diteladani oleh pembaca atau pun penikmat sastra. Suatu karya sastra diharapkan memiliki kajian nilai yang dapat mendewasakan pembaca, tidak hanya sebagai sarana menuangkan ide-ide yang lama terpendam. 3. Macam-Macam Nilai Pendidikan Sastra sebagai hasil kehidupan mengandung nilai-nilai sosial, filosofi, religi dan sebagainya. Baik yang bertolak dari pengungkapan kembali maupun yang merupakan menciptakan terbaru semuanya dirumuskan secara tersurat dan tersirat. Sastra tidak saja lahir karena kejadian, tetapi juga dari kesadaran penciptaannya bahwa sastra sebagai sesuatu yang imajinatif, fiktif, dan lain-lain, juga harus melayani misi-misi yang dapat dipertanggungjawabkan. Sastrawan pada waktu menciptakan karyanya tidak saja di dorong oleh hasrat untuk menciptakan keindahan, tetapi juga berkehendak untuk menyampaikan pikiran-pikirannya, pendapat-pendapatnya, dan kesan-kesan perasaannya terhadap sesuatu. Mencari nilai luhur dari karya sastra adalah menentukan kreativitas terhadap hubungan kehidupannya. Dalam karya sastra akan tersimpan nilai atau pesan yang berisi amanat atau nasihat. Melalui karyanya, pencipta karya sastra berusaha untuk mempengaruhi pola pikir pembaca dan ikut mengkaji tentang baik dan buruk, benar mengambil pelajaran, teladan yang patut ditiru, sebaliknya untuk dicela bagi yang tidak baik. Karya sastra diciptakan bukan sekedar untuk dinikmati, akan tetapi untuk dipahami dan diambil manfaatnya. Karya sastra tidak sekedar benda mati yang tidak berarti, tetapi di dalamnya termuat suatu ajaran berupa nilai-nilai hidup dan pesan-pesan luhur yang mampu menambah wawasan manusia dalam memahami kehidupan. Dalam karya sastra, berbagai nilai hidup dihadirkan karena hal ini merupakan hal positif yang mampu mendidik manusia, sehingga manusia mencapai hidup yang lebih baik sebagai makhluk yang dikaruniai oleh akal, pikiran, dan perasaan. Novel merupakan salah satu bentuk karya sastra yang banyak memberikan penjelasan secara jelas tentang sistem nilai. Nilai itu mengungkapkan perbuatan apa yang dipuji dan dicela, pandangan hidup mana yang dianut dan dijauhi, dan hal apa saja yang dijunjung tinggi. Adapun nilai-nilai pendidikan dalam novel sebagai berikut : a. Nilai Pendidikan Religius Nilai religius merupakan suatu kesadaran yang menggejala secara mendalam dalam lubuk hati manusia sebagai human nature. Religius tidak hanya menyangkut segi kehidupan secara lahiriah melainkan juga menyangkut keseluruhan diri pribadi manusia secara total dalam integrasinya hubungan ke dalam keesaan Tuhan. Dalam novel Pincalang yang akan diteliti nilai religiusnya adalah bertumpu pada satu agama yakni agama islam. Jika membahas pendidikan dalam agama islam tentunya kita akan berpedoman pada Al qur’an dan hadist-hadist rasullulahah saw sebagai petunjuk untuk seluruh umat muslim. Di dalam ajaran agama islam, kita akan banyak menemui nilai-nilai pendidikan karena pendidikan dalam agama islam sangatlah penting. Oleh karena itu, pendidikan dasar dalam ajaran agama islam adalah bagaimana manusia diajarkan untuk taat beribadah kepada Allah Swt dan menjauhi segala apa yang dilarangNya. Beberapa contoh ketaatan terhadap Allah Swt adalah senantiasa mendirikan shalat, baik itu shalat di rumah, datang di mesjid atau di manapun kita berada. Sebagai mana dalam hadist Rasullullah Saw yang artinya adalah “Pokok dari perkara ini adalah islam, tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah jihat fi sabilillah.”(HR.Ahmad,At Tirmidzi dan Ibnu Majah). Disamping itu umat muslim juga diwajibkan belajar membaca ayat suci Al Qur’an dan lain sebagainya. Semua itu menjadi tanggung jawab kedua orang tua untuk membimbing dan mengajari anak-anaknya. Rosyadi, lihat Abdul Rahim, (2012) bahwa nilai-nilai religius bertujuan untuk mendidik agar manusia lebih baik menurut tuntunan agama dan selalu ingat kepada Tuhan. Nilai-nilai religius yang terkandung dalam karya sastra dimaksudkan agar penikmat karya tersebut mendapatkan renungan-renungan batin dalam kehidupan yang bersumber pada nilai-nilai agama. Nilai-nilai religius dalam sastra bersifat individual dan personal. Kehadiran unsur religius dalam sastra adalah sebuah keberadaan sastra itu sendiri. Dalam Semi, lihat Abdul Rahim, (2012) menyatakan, agama merupakan kunci sejarah, kita baru memahami jiwa suatu masyarakat bila kita memahami agamanya. Ia juga menambahkan, kita tidak mengerti hasil-hasil kebudayaanya, kecuali bila kita paham akan kepercayaan atau agama yang mengilhaminya. Religius lebih pada hati, nurani, dan pribadi manusia itu sendiri. Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa nilai religius yang merupakan nilai kerohanian tertinggi dan mutlak serta bersumber pada kepercayaan atau keyakinan manusia, dalam hal ini adalah pendidikan yang mutlak dan harus ada dalam diri setiap manusia.. b. Nilai Pendidikan Moral Moral merupakan sesuatu yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca, merupakan makna yang terkandung dalam karya sastra, makna yang disaratkan lewat cerita. Moral dapat dipandang sebagai tema dalam bentuk yang sederhana, tetapi tidak semua tema merupakan moral. Dalam Nurgiyantoro, (2005:320) Moral merupakan pandangan pengarang tentang nilai-nilai kebenaran dan pandangan itu yang ingin disampaikan kepada pembaca. Hasbullah, (2005:194) menyatakan bahwa moral merupakan kemampuan seseorang membedakan antara yang baik dan yang buruk. Nilai moral yang terkandung dalam karya sastra bertujuan untuk mendidik manusia agar mengenal nilai-nilai etika. Nilai baik buruk suatu perbuatan, apa yang harus dihindari dan apa yang harus dikerjakan, sehingga tercipta suatu tatanan hubungan manusia dalam masyarakat yang dianggap baik, serasi, dan bermanfaat bagi orang itu, masyarakat, lingkungan, dan alam sekitar. Beberapa contoh nilai moral adalah bagaimana menjaga hubungan baik sesama manusia dengan saling tolong menolong dalam kebaikan dan menjaga lingkungan sekitar dan tidak merusaknya demi keberlangsungan di masa depan kelak. Uzey, (2009:2) berpendapat bahwa nilai moral adalah suatu bagian dari nilai, yaitu nilai yang menangani kelakuan baik atau buruk dari manusia. Moral selalu berhubungan dengan nilai, tetapi tidak semua nilai adalah nilai moral. Moral berhubungan dengan kelakuan atau tindakan manusia. Nilai moral inilah yang lebih terkait dengan tingkah laku kehidupan kita sehari-hari. Dapat disimpulkan bahwa nilai pendidikan moral menunjukkan peraturan-peraturan tingkah laku dan adat istiadat dari seorang individu dari suatu kelompok yang meliputi perilaku. c. Nilai Pendidikan Sosial Kata “Sosial” berarti hal-hal yang berkenaan dengan masyarakat/ kepentingan umum. Nilai sosial merupakan hikmah yang dapat diambil dari perilaku sosial dan tata cara hidup sosial. Perilaku sosial berupa sikap seseorang terhadap peristiwa yang terjadi di sekitarnya yang ada hubungannya dengan orang lain, cara berpikir, dan hubungan sosial bermasyarakat antar individu. Nilai sosial yang ada dalam karya sastra dapat dilihat dari cerminan kehidupan masyarakat yang diinterpretasikan Rosyadi, lihat Abdul Rahim, (2012). Nilai pendidikan sosial akan menjadikan manusia sadar akan pentingnya kehidupan berkelompok dalam ikatan kekeluargaan antara satu individu dengan individu lainnya. Nilai sosial mengacu pada hubungan individu dengan individu yang lain dalam sebuah masyarakat. Bagaimana seseorang harus bersikap, bagaimana cara mereka menyelesaikan masalah, dan menghadapi situasi tertentu juga termasuk dalam nilai sosial. Dalam masyarakat Indonesia yang sangat beraneka ragam coraknya, pengendalian diri adalah sesuatu yang sangat penting untuk menjaga keseimbangan masyarakat. Salah satu contoh perilaku sosial dalam masyarakat adalah adanya rasa saling peduli dan perhatian sesama tetangga atau warga masyarakat lainnya, dalam hal ini jika ada diantara mereka yang tertimpa musibah atau masalah, maka kewajiban kita adalah menolong semampu kita. Sejalan dengan hal tersebut, nilai sosial dapat diartikan sebagai landasan bagi masyarakat untuk merumuskan apa yang benar dan penting, memiliki ciri-ciri tersendiri, dan berperan penting untuk mendorong dan mengarahkan individu agar berbuat sesuai norma yang berlaku. Uzey, (2009:7) juga berpendapat bahwa nilai sosial mengacu pada pertimbangan terhadap suatu tindakan benda, cara untuk mengambil keputusan apakah sesuatu yang bernilai itu memiliki kebenaran, keindahan, dan nilai ketuhanan. Jadi nilai sosial dapat disimpulkan sebagai kumpulan sikap dan perasaan yang diwujudkan melalui perilaku yang mempengaruhi perilaku seseorang yang memiliki nilai tersebut. Nilai sosial merupakan sikap-sikap dan perasaan yang diterima secara luas oleh masyarakat dan merupakan dasar untuk merumuskan apa yang benar dan apa yang penting. d. Nilai Pendidikan Budaya Nilai-nilai budaya menurut Rosyadi, lihat Abdul Rahim, (2012) merupakan sesuatu yang dianggap baik dan berharga oleh suatu kelompok masyarakat atau suku bangsa yang belum tentu dipandang baik pula oleh kelompok masyarakat atau suku bangsa lain sebab nilai budaya membatasi dan memberikan karakteristik pada suatu masyarakat dan kebudayaannya. Nilai budaya merupakan tingkat yang paling abstrak dari adat, hidup dan berakar dalam alam pikiran masyarakat, dan sukar diganti dengan nilai budaya lain dalam waktu singkat. Uzey, (2009:1) berpendapat mengenai pemahaman tentang nilai budaya dalam kehidupan manusia diperoleh karena manusia memaknai ruang dan waktu. Makna itu akan bersifat intersubyektif karena ditumbuh kembangkan secara individual, namun dihayati secara bersama, diterima, dan disetujui oleh masyarakat hingga menjadi latar budaya yang terpadu bagi fenomena yang digambarkan. Sistem nilai budaya merupakan inti kebudayaan, sebagai intinya ia akan mempengaruhi dan menata elemen-elemen yang berada pada struktur permukaan dari kehidupan manusia yang meliputi perilaku sebagai kesatuan gejala dan benda-benda sebagai kesatuan material. Sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap bernilai dalam hidup. Karena itu, suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Budaya biasa juga disebut sebagai kebiasaan suatu kelompok masyarakat secara turun temurun, sehingga kebiasaan tersebut dilakukan secara terus menerus dan lahirlah sebuah kebudayaan. Dapat disimpulkan dari pendapat tersebut, sistem nilai budaya menempatkan pada posisi sentral dan penting dalam kerangka suatu kebudayaan yang sifatnya abstrak dan hanya dapat diungkapkan atau dinyatakan melalui pengamatan pada gejala-gejala yang lebih nyata seperti tingkah laku dan benda-benda material sebagai hasil dari penuangan konsep-konsep nilai melalui tindakan berpola. Adapun nilai-nilai budaya yang terkandung dalam novel dapat diketahui melalui penelaahan terhadap karakteristik dan perilaku tokoh-tokoh dalam cerita. C. Sosiologi Sastra Sosiologi sastra berasal dari kata “Sosiologi” dan “Sastra”. Sosiologi berasal dari kata sos (Yunani) yang berarti bersama, bersatu, kawan, teman, dan logi (Logos) berarti sabda, perkataan, perumpamaan. Sastra dari akar kata “Sas” (Sansekerta) berarti mengarahkan, mengajarkan, memberi petunjuk dan instruksi. Akhiran “Tra” berarti alat, sarana. Merujuk dari definisi tersebut, keduanya memiliki objek yang sama yaitu manusia dan masyarakat. Meskipun demikian, hakikat sosiologi dan sastra sangat berbeda bahkan bertentangan secara dianetral. Sosiologi adalah ilmu objektif kategoris, membatasi diri pada apa yang terjadi dewasa ini (Das sain) bukan apa yang seharusnya terjadi (Das solen). Sebaliknya karya sastra bersifat evaluatif, subjektif, dan imajinatif. Secara singkat dapat dijelaskan bahwa sosiologi sastra adalah suatu pendekatan yang melihat hubungan antara sastra dengan masyarakat. Wellek dan Warren, (2000:110) menyatakan bahwa sosiologi mencoba mencari tahu bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana ia berlangsung dan bagaimana ia tetap ada. Dengan mempelajari lembaga-lembaga sosial dan segala masalah perekonomian, keagamaan, politik, dan lain-lain yang kesemuanya itu merupakan struktur sosial. Wilayah sosiologi sastra cukup luas, Wellek dan Warren, lihat Irwan B.S.Q, (2013) membagi telaah sosiologis menjadi tiga klarifikasi yaitu : a) Sosiologi pengarang, yakni yang mempermasalahkan tentang status sosial, ideologi politik, dan lain-lain yang menyangkut diri pengarang. b) Sosiologi karya sastra, yakni mempermasalahkan tentang suatu karya sastra, yang menjadi pokok telaah adalah tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan atau amanat yang hendak disampaikannya. c) Sosiologi sastra yang mempermasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap masyarakat. Dari pendekatan sosiologi sastra yang telah dikemukakan di atas, peneliti akan menggunakan satu pendekatan yang dianggap sesuai dengan penelitian ini. D. Teori Struktural Analisis struktural merupakan tahap awal dalam penelitian sastra yang penting dilakukan, tetapi bukan berarti struktural merupakan jembatan untuk menganalisis makna yang terkandung dalam karya sastra. Oleh sebab itu, peneliti tidak terjebak dalam analisis struktural sebab tujuan utama dalam penelitian ini adalah mengkaji nilai-nilai pendidikan dalam karya sastra dalam hal ini yang terdapat dalam novel Pincalang karya Idris Pasaribu. Menurut Pradopo, (2003:36) bahwa analisis struktural adalah analisis kedalam unsur-unsurnya dan fungsinya serta penguraian bahwa tiap-tiap unsur itu mempunyai makna kaitannya dengan unsur-unsur yang lain. Adapun langkah-langkah analisis sosiologi yang dikemukanakan Nurgiyantoro, (2000:36) adalah sebagai berikut: a. Mengidentifikasi unsur-unsur instristik yang membangun karya sastra secara lengkap dengan jelas, mana tema dan mana tokohnya. b. Mengkaji unsur-unsur yang telah diidentifikasi sehingga diketahui tema, alur, penokohan dan latar dalam sebuah karya sastra. c. Menghubungkan masing-masing unsur sehingga memperoleh kepaduan makna secara keseluruhan dari sebuah karya sastra. E. Hubungan Sastra dan Pendidikan Berbicara tentang sastra pastilah kita berbicara tentang nilai-nilai estetis atau nilai keindahan. Akan tetapi jika berbicara tentang pendidikan dalam sastra tentunya kita tidak hanya membicarakan nilai estetisnya saja. Amrin (2012;25). Sastra adalah merupakan wujud gagasan seseorang melalui pandangan terhadap lingkungan sosial yang beraada disekelilingnya dengan menggunakan bahasa yang indah. Sastra hadir sebagai hasil perenungan pengarang terhadap fenomena yang ada. Sastra sebagai karya fiksi memiliki pemahaman yang lebih mendalam, bukan hanya sekedar cerita khayal atau angan dari pengarang saja, melainkan wujud dari kreativitas pengarang dalam menggali dan mengolah gagasan yang ada dalam pikirannya. Fungsi pendidikan artinya karya sastra yang baik selalu mengandung nilai-nilai pendidikan yang baik. Nantinya menjadi pembelajaran dalam membentuk akhlak seseorang untuk memperlihatkan hal yang baik. Sastra muncul atau terlahir tidak hanya dinikmati dari nilai estetisnya, melainkan juga bertugas memberi hikmah dan pelajaran untuk mengarahkan manusia kepada kehidupan yang lebih baik dan berbudaya. Sastra merupakan cerminan dari kehidupan masyarakat. Disitulah hubungan erat antara sastra dan pendidikan. Tentunya karya sastra yang diharapkan adalah sebuah karya yang baik yang memiiki hal-hal penting dan berguna bagi kemanusian. Pembelajaran sastra utamanya novel mempunyai fungsi yang dapat menumbuhkan rasa kepedulian terhadap karya-karya yang dihasilkan oleh para pengarang. Tentu saja jika karya sastra dipandang dan dapat mempunyai relevansi terhadap problema kenyataan sosial dimasyarakat, maka kita harus memandangnya sebagai fenomena yang penting dan banyak artinya. Dalam kaitan inilah kita berpikir bahwa studi sastra (dalam dunia pendidikan dan pengajaran) itu dapat mengambil peranan penting di dalam masyarakat yang sedang berkembang yang kenyataannya berhadapan dengan masalah-masalah realitas sosial. Amrin, (2012;25). Oleh karena itu, erat kaitannya sastra dengan dunia pendidikan di zaman sekarang yang sedang dilanda era globalisasi.   BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis dan Teknik Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian pustaka, karena penelitian ini didukung oleh referensi baik yang berupa novel maupun sumber buku penunjang lainnya yang mencakup masalah penelitian. Teknik penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif, artinya data yang dianalisis dan hasil analisisnya berbentuk pengambaran berupa kata-kata. Pengkajian ini bertujuan mengungkap berbagai informasi kualitatif dengan pendeskripsian yang teliti dan mengambarkan secara cermat. Metode ini digunakan karena dalam sastra sumber datan ya adalah karya, naskah, dan data penelitiannya sebagai data formal adalah kata, kalimat, dan wacana (Ratna 2004:47). Data-data tersebut bersifat kualitatif yang akan dijelaskan secara deskriptif. Kemudian, peneliti membandingkan (komparatif) data-data tersebut dengan interpretasi sendiri dengan pendekatan sosiologi sastra. B. Data dan Sumber Data Datanya adalah keseluruhan isi cerita novel Novel Pincalang karya Idris Pasaribu yang menjadi objek penelitian, yang kemudian akan diidentifikasi mana nilai-nilai pendidikan, baik itu nilai pendidikan religius/agama, nilai pendidikan sosial, nilai pendidikan budaya dan nilai pendidikan moral. yang menjadi variabel penelitian. Sumber datanya adalah Novel Pincalang karya Idris Pasaribu. C. Teknik.Pengumpulan.Data. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan>dengan?teknik baca catat, yaitu peneliti membaca keseluruhan isi novel untuk memperoleh informasi tentang nilai-nilai pendidikan dalam novel Pincalang Karya Idris Pasaribu. Teknik catat dilakukan dengan mencatat bagian-bagian tertentu dalam novel, terutama bagian-bagian yang mengandung nilai pendidikan. Data yang diperoleh dari hasil pembacaan dan pencatatan tersebut diharapkan dapat dijangkau dalam permaslahan penelitian ini. D. Teknik>Analisis.Data Teknik analisis data merupakan proses mengatur urutan data menggolongkannya ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar Moleong, (2001:103). Kegiatan analisis data itu dilakukan dalam suatu proses. Proses berarti pelaksanaannya sudah dimulai sejak pengumpulan data dilakukan dan dikerjakan secara intensif. Teknik yang digunakan adalah dengan pendekatan sosiologi sastra dan pendekatan struktural. Penggunaan ini dimaksudkan untuk mengungkapkan nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam novel Pincang karya Idris Pasaribu.   BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Tinjauan tentang Novel Pincalang karya Idris Pasaribu Novel Pincalang menceritakan kisah seorang pelaut yang hidup dari pulau ke pulau, membuat kopra, memasak minyak, menangkap ikan, dan membuat ikan asin. Mereka membuat arang dari kayu bakau yang sangat terkenal keharumannya dan sedikit sekali mengeluarkan asap. Mereka diajarkan kearifan lokal untuk menjaga laut agar mendapatkan yang terbaik dari alam. Mereka mengarungi lautan dengan melihat tanda-tanda alam. Selama hidupnya, Amat ikut dengan ayahnya mengelilingi lautan. Di atas perahu itu ia dilahirkan ibunya. Sejak berusia lima tahun, di atas perahu itu pula dia belajar shalat dan mengaji dari ibunya. Ayah Amat mengajarinya menarik turunkan layar, mengemudi, melihat bintang, merasakan angin dan belajar mencium bau karang dari haluan, lambung, dan buritan. Ia manusia Pincalang yang menghabiskan hidupnya di atas perahu. Ketika Amat dewasa, ia pun dinikahkan dengan seorang gadis pilihan ayah dan ibunya yang bernama Maryam, ia pun tak menolaknya. Disamping Maryam gadis yang cantik, ia juga seorang gadis yang sholehah dan pandai memasak serta pintar berjualan. Itu sebabnya orang-orang mengatakan pernikahan Amat dan Maryam bagaikan periuk bertemu dengan tutupnya, klop. Ujian terberat setelah mereka menikah adalah mengarungi lautan hanya dengan berdua saja, karena mereka telah diberi Pincalang dari Ayah Amat. Filosofi hidup berkeluarga; mengarungi samudera luas dengan berbagai rintangan dan cobaan. Hujan. Angin, Petir, Badai. Ombak, jika takut memerjang ombak, maka jangan lepaskan jangkar untuk berlayar. Begitu pesan para tetua sejak dulu. Setelah beberapa tahun menikah, mereka dikaruniai tiga orang anak, yang sulung serorang pria yang diberi nama Buyung, dan dua orang putri. Setelah cukup usia, Buyung akhirnya di sekolahkan oleh Amat, di sekolah Pelayaran, seperti yang dicita-citakannya. Amat yang terus berpikir mengenai kehidupan, ia tidak ingin terus diperbodohi oleh orang-orang darek sebutan untuk orang-orang di darat dan para tauke sebutan untuk orang-orang Cina. Ia akhirnya memilih untuk tinggal di darat bersama Isteri dan anak-anaknya dan belajar berdagang. Hal tersebut sempat mendapat kecaman dan larangan dari kedua orang tua dan mertuanya. Selama ini mereka mengganggap orang-orang darek tidak ada yang baik, namun berkat kerja keras Amat, akhirnya mereka mau mengerti keinginan Amat dan dengan pembuktian kerja keras dengan gigih, Amat pun cukup sukses di dunia perdagangan. Kini mereka memiliki Kapal Keppres, yang diberi nama K.M. pincalang yang memiliki tenaga mesin. Buyung pun didaulat menjadi Nahkodanya setelah ia lulus di SMPP (Sekolah Menengah Pelayaran Pertama). Semua keluarga, teman-teman Buyung, dan orang-orang yang selama ini membantu dan mendukung Amat turut hadir dalam pelayaran perdana K.M. Pincalang, yang akan melalui rute Nias-Meulaboh. Hingga suatu ketika modernisasi itu menghantam, para kapitalis berlomba mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya, tanpa memperhatikan akibatnya. Hutan bakau digunduli, biota laut di sapu habis. Alam menangis, tak sanggup lagi memberikan yang terbaik unutk manusia. Amat pun geram melihat kondisi laut yang semakin rusak oleh tangan-tangan jahil para penguasa, yang tidak menjaga ekosistem laut. Jelas ini menyalahi pesan tetua orang-orang pincalang, yang secara turun temurun berpesan kepada anak cucunya dan mereka diajarkan oleh kearifan lokal untuk menjaga laut agar mendapatkan yang terbaik dari alam. Lewat pesan inilah bagaimana Amat ingin selalu dan selamanya menjaga kehidupan laut. Perlawanan Amat terhadap penguasa tak bisa terelakkan, ia pun dicari dan hendak ditangkap untuk dijebloskan kepenjara, agar tidak berkotek lagi, karena bisa membahayakan penguasa. Namun Amat yang tak takut dengan ancaman itu, Ia pun melakukan perlawanan, sehingga banyak menewaskan para petugas yang ingin menangkapnya, namun sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya bisa jatuh juga, Amat pun berhasil ditangkap dan diadili. Selama tujuh tahun kurungan penjara yang diterimanya, banyak pelajaran yang diperolehnya disana. Kebebasan dan menanam kembali. Ia dijemput oleh Isteri dan anak-anaknya, sedih, senang, bahagia bercampur aduk, ketika ia digiring menuju ke mesjid, untuk menyaksikan anak sulungnya dinikahkan dengan anak Tuan haji yaitu Salamah Binti haji Ahmad Palindih yang banyak memberinya nasihat dan banyak membantunya selama ini. Setelah perlehatan pernikahan Buyung, Amat hendak kembali berlayar dan menanam kembali biota-biota laut yang sudah banyak digunduli oleh mesin-mesing pemotong. Bagi Amat, alam adalah nafasnya yang dicintai sepenuh jiwa raganya. Apa yang diberikan alam kepadanya adalah berkah dari Allah Swt. Tak ada kebahagiaan yang dicarinya lagi selain melihat pohon bakaunya kuat tertancap dan memberi naungan bagi biota laut dibawahnya. Novel Pincalang berlatarkan tempat, waktu, dan sosial. Latar disebutkan secara eksplisit dalam cerita maupun implisit tergambar lewat keadaan. Latar ini mendukung gagasan cerita yang disampaikan pengarang, yakni perjuagan hidup seseorang dalam menggapai masa depan yang lebih baik. Pemaparan ini telah membuat alur cerita semakin menarik untuk disimak. Keterjalinan unsur novel Pincalang dibangun lewat kepaduan dan hubungan yang logis antara tema, latar, amanat, tokoh, serta gaya bahasa. Hal ini membuat alur cerita terasa wajar dan hidup, sehingga pembaca merasa tertarik untuk menikmati dan memahami pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang. Alur merupakan rangkaian peristiwa dari awal sampai akhir. Rangkaian peristiwa tersebut berusaha memecahkan konflik dalam sebuah cerita. Analisis alur untuk mengetahui satuan urutan cerita dalam novel Pincalang Karya Idris Pasaribu., sekaligus mengklasifikasikan dan mengidentifikasi berdasarkan strukturnya, sehingga dapat ditentukan jalinan peristiwanya. Alur novel Pincalang merupakan campuran yakni maju-mundur. Mengapa demikian? Karena isi cerita pada bagian pertama yang terlebih dahulu menceritakan dari tahap awal, ketika Amat telah menikah dengan Maryam dan dikaruniai seorang Putra yang bernama Buyung, dan kedua orang Putri Upik dan Nur. Kemudian masuk pada bagian kedua barulah diceritakan mulai ketika Amat berusia lima tahun yang lahir di atas Pincalang dan belajar pula di atas Pincalang. Berikut ini disajikan peristiwa yang diurut berdasarkan tahap awal sampai akhir. 1. Novel Pincalang menceritakan kisah seorang pelaut yang hidup dari pulau ke pulau, membuat kopra, memasak minyak, menangkap ikan, dan membuat ikan asin. 2. Selama hidupnya, Amat ikut dengan ayahnya mengelilingi lautan. 3. Ayah Amat mengajarinya menarik turunkan layar, mengemudi, melihat bintang, merasakan angin dan belajar mencium bau karang dari haluan, lambung, dan buritan. 4. Ketika Amat dewasa, ia pun dinikahkan dengan seorang gadis pilihan ayah dan ibunya yang bernama Maryam, ia pun tak menolaknya. 5. Setelah beberapa tahun menikah, mereka dikaruniai tiga orang anak, yang sulung serorang pria yang diberi nama Buyung, dan dua orang putri. Buyung disekolahkan agar menjadi Anak pintar. 6. Setelah cukup usia, Buyung akhirnya di sekolahkan oleh Amat, di sekolah Pelayaran, 7. Kini mereka memiliki Kapal Keppres, yang diberi nama K.M. pincalang yang memiliki tenaga mesin. 8. Mereka akhirnya memutuskan untuk tinggal dan membeli rumah di darat, agar bisa hidup bersama Buyung serta bisa menyekolahkan kedua Adik Buyung. 9. Hal tersebut sempat mendapat kecaman dan larangan dari kedua orang tua dan mertuanya. 10. Namun berkat kerja keras Amat, akhirnya mereka mau mengerti keinginan Amat dan dengan pembuktian kerja keras dengan gigih. 11. Amat pun cukup sukses di dunia perdagangan. 12. Hingga suatu ketika modernisasi itu menghantam, para kapitalis berlomba mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya, tanpa memperhatikan akibatnya. 13. Amat pun geram melihat kondisi laut yang semakin rusak oleh tangan-tangan jahil para penguasa, yang tidak menjaga ekosistem laut, jelas ini menyalahi pesan tetua orang-orang pincalang, 14. Perlawanan Amat terhadap penguasa tak bisa terelakkan, ia pun dicari dan hendak ditangkap untuk dijebloskan kepenjara, agar tidak berkotek lagi, karena bisa membahayakan penguasa. 15. Kebebasan dan menanam kembali. 16. Bagi Amat, alam adalah napasnya yang dicintai sepenuh jiwa raganya. 17. Apa yang diberikan alam kepadanya adalah berkah dari Allah Swt. Tak ada kebahagiaan yang dicarinya lagi selain melihat pohon bakaunya kuat tertancap dan memberi naungan bagi biota laut dibawahnya. Dalam pengambaran peristiwa-peristiwa seperti yang telah diperlihatkan di dalam urutan tahapannya dari awal sampai akhir, novel Pincalang di atas, terlihat bahwa masing-masing peristiwa terjalin berdasarkan hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi yang satu dengan peristiwa yang lainnya. Setiap peristiwa yang satu mempersiapkan peristiwa yang lainnya. Urutan tahapannya berdasarkan alur cerita di atas, memang telah berurutan sebagai suatu hubungan sebab akibat yang terjalin secara kronologis, misalnya tahap 1 dengan tahap 2, tahap 3 dengan tahap 4 dan seterusnya. Jika diperhatikan tahapan-tahapan peristiwa itu, dapat ditemukan bahwa penggerak keseluruhan cerita yaitu bermula dari peristiwa-peristiwa kecil yang di dasari hal-hal yang sederhana sampai pada suatu yang kompleks. Dapat pula di telusuri pada pikiran-pikiran tokoh utama sebagai hasil interaksi dengan tokoh yang lain sehinggga memicu peristiwa yang lebih besar, yaitu ketika Amat merencanakan untuk tinggal dan menetap di darat dengan memboyong anak istrinya, dan hal ini mendapat kecaman dari kedua orang tua dan mertuanya, namun berkat usaha yang gigih, ia pun berhasil menyakinkan mereka. Belum sampai di situ, masalah yang dihadapinya di depan ternyata lebih berat, karena sikapnya yang jujur dan berani, akhirnya ia harus berhadapan dengan penguasa, yang di zaman itu adalah kekusaan orde baru yang otoriter. Ia pun dipenjara namun masyarakat mengganggap dirinya adalah pahlawan yang ingin mempertahankan biota laut. Berdasarkan pemaparan dari tahap awal sampai akhir dalam novel Pincalang di atas dapat ditemukan bahwa alur cerita berjalan linear dan standar, bab demi bab dibentangkan satu persatu peristiwa yang mereka alami selama hidup di laut, hingga memutuskan untuk tinggal menetap di darat. Semua cerita yang dibangun pengarang direkontruksi dari pengalaman langsung penulis. Latar dalam suatu cerita merupakan tempat berlangsungnya suatu peristiwa, sekaligus untuk memperjelas tempat dan pada situasi kapan peristiwa itu berlangsung. Dalam novel ini, diantara tempat seperti laut, pulau Nias, Meulaboh, Tapak Tuan, Mentawai dan Padang dan kota Sibolga tempat Amat tinggal bersama keluarganya. Pengambaran latar tempat laut dimana Amat berlayar, seperti terlihat pada kutipan berikut. “Gelombang mengamuk hebat. Langit hitam. Angin terus menderu-deru. Dengan lincahnya seekor monyet, Buyung naik memanjat tiang besar.”( Pasaribu, 2012:7) ………………………………………………………… Penempatan latar tempat seperti pada kutipan dari isi novel di atas bahwa pengarang ingin menunjukkan keberadaan tempat sekaligus menererangkan peristiwa yang berlangsung dalam penceritaan. Pelukisan suasana laut menjadi salah satu pertimbangan khusus bagaimana kondisi laut pada masa itu dengan apa yang dialami oleh tokoh dalam cerita. Deskripsi laut sumatera diharapkan mendukung sikap dan watak tokohnya. Hal ini terungkap ketika pengarang mengambarkan tokoh Amat sebagai tokoh utama yang memiliki karakter sifat tangguh dan gagah berani. Latar tempat juga terdapat pada pengambaran pulau, sebagai tempat persinggahan orang-orang Pincalang, yang hendak singgah berteduh atau yang lainnya, hal ini tergambar pada kutipan berikut. “Pertahankan haluan. Aku melihat pulau di depan….” Katanya sembari mengambil kain layar kecil, lalu membawanya berlari ke haluan dengan cepat.” (Pasaribu, 2012:10) Menembus gelap, menembus pekat. Menembus ombak. Hujan semakin deras. Suara halilintar tak hentinya membentak-bentak. Kilatan sesekali menerangi laut. Benar, diujung haluan ada pulau kecil. Pulau yang belum diberi nama. (Pasaribu, 2012:11). Dari kutipan teks di atas, pengambaran latar pulau memberi pemahaman bahwa latar tempat itu berfungsi sebagai pemberi tanda awal keberadaan tokoh-tokoh yang ditempatkan dalam cerita, tidak hanya itu penggunaan latar juga dalam beberapa peristiwa lain yang diungkapkan. Penggunaan tidak hanya menunjukkan tempat kejadian suatu peristiwa, melainkan juga dapat mendukung peristiwa-peristiwa lain yang ada hubungannya dengan tokoh-tokoh yang ditampilkan dalam alur penceritaan novel tersebut. Latar sebagai pendukung kemunculan para tokoh-tokohnya dan karakternya dapat dilihat pada kutipan berikut yang merupakan latar utama dalam cerita tersebut. “Amat melebarkan lubang hidungnya. Dia harus mampu mencium bau karang. Walau buyung berada dihaluan dan pasti sedang mempersiapkan penciumannya, tapi dia lebih yakin dengan penciumannya sendiri. Amat berharap dapat melihat sebuah pulau kecil agar Pincalang bisa melego jangkar di sana atau sepanjang tali yang bisa diikatkan ke sebatang pohon kelapa di tepi pantai. Dia akan membawa turun dua anaknya yang masih kecil.” (Pasaribu, 2012:9) Dari kutipan di atas, pengambaran latar tempat laut dan pulau di mana berlangsungnya cerita memberikan pemahaman bahwa latar tempat berfungsi untuk mengambarkan susasana laut yang terkadang mengganas, maka hanya orang-orang yang tangguh bisa melewati Suasana yang mengerikan tersebut. Ini merupakan pengambaran bagaimana kondisi orang-orang Pincalang yang selalu siap sedia menghadapi berbagai macam ritangan di tengah laut lepas. Deskripsi laut dan pulau diharapkan juga mendukung kehadiran tokoh-tokoh yang nantinya terlibat dalam sejumlah peristiwa dalam cerita dan juga berfungsi mendukung sikap watak tokoh-tokohnya. Selain kutipan di atas terdapat pula latar tempat, seperti terdapat pada kutipan berikut. Amat membawa Buyung turun dari Pincalang menuju warung makan langganannya. Dia membicarakan niatnya untuk menyekolahkan Buyung kepada pemilik rumah itu. Amat menyatakan unutk membayar makan Buyung di rumahnya itu. Amat juga meminta tolong pada pemilik rumah untuk mencarikan Buyung sekolah. ( Pasaribu, 2012:99). “Buyung sangat suka berjalan kaki mengelilingi kota kecil itu. Di boleh melihat-lihat bangunan-bangunan rumah panjang dan rumah batu yang cantik. Dia melihat anak-anak sebayanya ada yang pintar naik sepeda.” (Pasaribu, 2012:100). “Rumah panggung, bercat kuning dan beratap seng. Berada bersisian dengan tebing gunung. Di belakang rumah ada air mengalir ke dalam sebuah bak besar. Airnya dialirkan menggunakan sebuah bambu panjang. Sejuk dan bening. Di depan rumah ada sebatang pohon rambutan. Halamannya agak luas. Di depan berpagar kayu malakka yang kuat berwarna coklat kemerahan. Di belakang rumah ada jamban yang bersih.” ( Pasaribu, 2012:113). Dari ketiga kutipan di atas, mengambarkan bagaimana babak baru kehidupan Amat yang memutuskan untuk tinggal hidup berdampingan dengan orang-orang darek demi sebuah kemajuan cara berpikir serta pendidikan yang menurutnya teramat penting bagi anak-anaknya kelak. Pelukisan tentang suasana kota kecil menjadi salah satu pertimbangan khusus bagaimana kondisi itu sejalan dengan apa yang dialami oleh tokoh dalam cerita. Pengambaran sebagai salah satu cara pengarang unutk memperjelas keberadaan tokoh untuk melukiskan sebuah peristiwa yang turut mendukung penceritaan. Pengambaran latar tempat kota Sibolga dimaksud seperti terlihat dalam kutipan berikut. “Bagaimana pula jika adik-adik Buyung nantinya juga sekolah ke Sibolga.” ( Pasaribu, 2012:142). …mereka tak jadi berlabuh di dermaga utara atau dermaga barat. Mereka langsung ke Kota tempat Buyung bersekolah. Mereka, bersama Amat, berlayar semalaman penuh. Untung angin dan ombak mau bersahabat dengan mereka.” ( Pasaribu, 2012:43). Dari kedua kutipan di atas, mengambarkan bagaimana latar tempat menjelaskan situasi perjuangan Amat untuk menyekolahkan anaknya agar bisa menjadi anak yang pandai. Beberapa peristiwa yang mendukung peristiwa yang lain. Penggunaannya tidak hanya menunjukkan tempat kejadian suatu peristiwa, melaikan juga dapat mendukung peristiwa-peristiwa lain dalam hubungan dengan tokoh-tokoh yang ditampilkan dalam alur penceritaan novel tersebut. B. Nilai-Nilai Pendidikan 1. Nilai Pendidikan Religius Nilai religius merupakan suatu kesadaran yang menggejala secara mendalam dalam lubuk hati manusia sebagai human nature. Religi tidak hanya menyangkut segi kehidupan secara lahiriah melainkan juga menyangkut keseluruhan diri pribadi manusia secara total dalam integrasinya hubungan ke dalam keesaan Tuhan. Nilai pendidikan agama haruslah ditanamkan sejak dini kepada seseorang, agar ketika dewasa ia bisa menjalankan agama dengan baik dan benar. Nilai pendidikan agama dalam novel ini adalah pendidikan agama islam Hal ini begitu tercermin pada kutipan berikut. “Sejak berusia lima tahun, Amat ikut dengan Ayahnya mengelilingi lautan buas dan ganas. Di atas Pincalang itu dia dilahirkan ibunya, begitu juga dua adiknya. Di atas Pincang itu dia belajar mengaji. Belajar shalat dari ibunya, juga dari para ustadz yang datang diundang naik ke atas Pincalang bila mereka bersandar di pelabuhan kecil atau di kampung-kampung di pantai.” ( Pasaribu 2012:21). Dari kutipan di atas jelas mengambarkan bagaimana Amat dididik untuk taat beragama sejak kecil, ia sudah diajarkan belajar mengaji dan shalat. Selain dari itu ia pula diajarkan beberapa doa ketika menghadapi marabahaya ditengah lautan. Hal ini tergambar pada kutipan berikut. “……langit tiba-tiba kembali marah, menggelegar. Kilat saling mendahului menyambar-nyambar bumi. Lamat-lamat terdengar mulut Amat komat kamit membaca doa ketika petir menggelegar, doa yang ia ingat ketika mengaji semasa kecil, “Subhanalladzi yusabbhihur ra’du bihamdihi wal malaikatu min khifatihi….”Mahasuci Allah yang kilat itu bertasbih memuji-Nya dan malaikat karena takut pada-Nya.” ( Pasaribu ,2012:18). Ketika dalam pernikahan Amat dan Maryam, tradisi agama tak juga ditinggalkan. Hal ini dapat kita lihat pada kutipan berikut. “Doa-doa syukur dipanjatkan kepada Tuhan agar keduanya hidup rukun dan damai sampai anak cucu mereka dan mampu mewariskan Pincalang atau Jongkong.” ( Pasaribu,2012:24). Keyakinan akan kokohnya rumah tangga mereka dibuktikan dengan taatnya mereka dalam menjalankan perintah Tuhan, yaitu ketika mereka singgah di darat, tak lupa untuk shalat di Masjid. Hal ini ditunjukkan seperti pada kutipan berikut. “Suara adzan menggema. Amat dan Maryam menunaikan shalat di Masjid.” ( Pasaribu,2012:70). Namun tidak hanya sampai disitu, anak mereka pun diajarkan ilmu agama, seperti menulis dan membaca Al Qur’an. Hal ini tampak pada kutipan berikut. “Apakah kita tidak mengajarinya selama ini? Buktinya Buyung sudah bisa membaca dan menulis serta pintar mengaji.” (Pasaribu, 2012:98). Peryataan kutipan di atas, membuktikan bahwa begitu besarnya perhatian Amat dan Maryam terhadap Buyung dalam hal pendidikan agama, terlebih lagi Amat selalum mengingat pesan guru mengajinya bahwa menuntut ilmu atau belajar itu sampai ke negeri Cina. Hal ini tampak pada kutipan berikut. “……Bukankah guru mengaji mengatakan belajar itu sampai ke negeri Cina? Bukankah belajar itu dari buaian dan berhenti jika sudah sampai di liang lahat?” ( Pasaribu, 2012:21). Kutipan di atas menunjukkan pesan pendidikan agama yang selama ini dipelajari Amat begitu mendalam sehingga ia ingin anaknya tidak hanya menuntut ilmu agama tapi juga ilmu sosial lainnya. Perhatian Amat tidak hanya sampai disitu, ketika Buyung bersekolah di sekolah formal, ia juga tak lupa membelikan perlengkapan ibadahnya seperti kopiah dan sajadah. Hal ini tampak pada kutipan berikut. “…..Amat juga membelikan kopiah, sajadah, dan keperluan lainnya, seperti sabun,sikat gigi dan odol.” ( Pasaribu, 2012:104). Dengan dalih agama pula, yang di mana pendidikan Agama yang diterima dan dipelajarinya sehingga banyak membantunya menyakinkan kedua orang tua dan mertuanya untuk bisa menerima keputusannya menyekolahkan Buyung di Sekolah formal. Hal ini tampak pada kutipan berikut. “Amat menjelaskan semuanya. Dia sudah membeli rumah dengan cicilan. Menyekolahkan anak-anaknya agar menjadi orang pintar dengan tidak akan meninggalkan ajaran agama. Bahkan di darat banyak Ustadz yang lebih pintar, mereka juga sudah berhaji ke Tanah suci. Dia dan istrinya sudah beberapa kali mengikuti pengajian dan ceramah agama yang jauh lebih berilmu ketimbang belajar sendiri dengan orang tua. “jadi kau tak percaya pada Apak dan Emak kau sendiri? Sudah durhaka kau,Mat?” “sekali waktu kalian aku undang datang ke rumah kami dan ikut pengajian dengan kami, di masjid yang ada di tempat kami itu. Kita akan mendengarkan pengajian mereka dan ceramah para Ustadz.”Amat menjelaskan. (Pasaribu, 2012:116). Kutipan dialog di atas menggambarkan begitu semangatnya Amat dalam memperjuangkan pendapatnya serta keinginannya mengajak kedua orang tua dan mertuanya untuk ikut pengajian dan mendengarkan ceramah Ustadz di mesjid. Pendidikan agama memang penting, oleh karena itu Amat tidak inginhanya dia yang paham betul mengenai agama, tapi ia juga ingin semua keluarganya belajar ilmu agama dari seorang Ustazd yang di sekolahkan khusus untuk mengajarkan ilmu agama. Harapan itu terlihat pada kutipan berikut. “Agama mana pun tidak melarang kita bersih. Pak. Tidak melarang badan wangi,” Amat mulai sengit. Harapannya mereka berempat berkunjung ke rumah mereka minggu depan dan mengenal tetangga mereka. Mengikuti pengajian dengan merekan di mesjid. Bersama Ustadz yang sudah berhaji. Bersama Ustadz yang memang sekolah khusus untuk itu.” ( Pasaribu,2012:117). Usaha yang gigih akhirnya berbuah manis, kedua orang tua dan mertua Amat akhirnya tertarik dengan ilmu agama yang disampaikan Ustadz tempat belajar Amat dan Maryam, mereka akhirnya selalu ikut pengajian ketika berkunjung ke rumah Amat. Hal ini tampak pada kutipan berikut. “Maryam mendatangi tetangganya, meminta kalau pengajian dua malam mendatang diadakan di rumahnya. Kedua orang tuanya itu perlu mendapat bimbingan dengan baik. Semua sejutu dan dilaksanakanlah pengajian tersebut dua malam kemudian. Maryam menyerahkan sedikit uang untuk membelikan makanan ringan. Ceramah dalam pengajian itu membuat kedua pasang orang tua Maryam tercenggang. Begitu banyak ilmu yang mereka peroleh tentang agama, tentang kehidupan bermasyarakat, tentang banyak hal mengaji itu bukan hanya membuka Al-Qur’an, menunjukkan dengan sebuah ujung lidi. Mendengakan ceramah termasuk juga mengaji. Banyak hal dalam kehidupan yang harus dikaji, kata ustadz panjang lebar. Kedua ibu Maryam langsung tertarik.” ( Pasaribu, 2012:120). Kutipan di atas menggambarkan dengan jelas bahwa pendidikan agama itu sangat penting untuk membuka lebar-lebar pemikiran-pemikiran sempit orang pulau atau orang-orang pedalaman, yang memiliki pamahaman bahwa agama hanya sebatas apa yang di dapat dari leluhur atau nenek moyang mereka terdahulu secara turun temurun, mereka juga terkadang memahami agama islam itu cukup hanya dengan Al Qur’an saja, tetapi masih banyak ilmu-ilmu agama yang mesti dipelajari dan dikaji lebih dalam seperti sunnah-sunnah Rasullullah Saw serta orang-orang yang mengikutinya dengan baik dan benar. Oleh karena itu lewat pengajian yang rutin maka akan menambah ketakwaan seseorang kepada Allah Swt. Dari beberapa kutipan beserta penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa nilai pendidikan religius atau agama dalam novel ini masih begitu kental dengan adat istiadat atau masih adanya istilah ilmu agama yang turun temurun dari leluhur, namun perubahan pemahaman itu mulai terjadi semenjak mereka mulai tinggal dan menetap di darat, karena seringnya ikut pengajian dan ceramah-ceramah dari Ustadz yang khusus belajar ilmu agama, maka lambat laun merubah pola pikir mereka lebih berkembang lagi. 2. Nilai Pendidikan Moral Nilai moral yang terkandung dalam karya sastra bertujuan untuk mendidik manusia agar mengenal nilai-nilai etika yang merupakan nilai baik buruk suatu perbuatan, apa yang harus dihindari, dan apa yang harus dikerjakan, sehingga tercipta suatu tatanan hubungan manusia dalam masyarakat yang dianggap baik, serasi, dan bermanfaat bagi orang itu, masyarakat, lingkungan, dan alam sekitar. Dalam novel ini nilai pendidikan moral diawali dengan menanamkan rasa cinta terhadap alam, khususnya biota-biota laut yang harus selalu dijaga dan dilestarikan demi keberlangsungan kehidupan biota laut. Hal ini dapat kita simak pada kutipan berikut. “Setengah hari mereka memotong kayu-kayu bakau yang besar, tidak sampai ke akar. Pohon itu tersisa beberapa puluh senti agar bisa bertunas dan hidup lagi. Tanah berlumpur yang kosong mereka tanami dengan anak-anak bakau yang tumbuh liar. ( Pasaribu, 2012:25). ........”beberapa kelapa yang terjatuh sendiri karena tua, bahkan yang sudah mulai kelihatan tumbuh,ikut dipungut. Yang tunasnya sudah panjang atau menunjukkan sudah berdaun dipungut untuk ditanam di tanah yang masih kosong. ( Pasaribu, 2012:27). Dari kedua kutiapan di atas dapat kita lihat begitu besarnya perhatian mereka terhadap alam sekitarnya, mereka tak mau hanya mengambil saja tapi juga mau menanam serta menjaga tumbuhan-tumbuhan tersebut. Hal ini demi keberlangsungan hidup tumbuhan tersebut. Amat selalu ingat akan pesan Ayahnya unutk menjaga biota laut. Hal ini dapat kita simak pada kutipan berikut. “Dia ingat apa yang dikatakan oleh Ayahnya,”Kalau warna hijau melilit karang,itu adalah makanan ikan. Jika lumut-lumut berwarna hijau itu hilang, harus ditanam lagi.” ( Pasaribu, 2012:30). “……..Amat memecah-mecah lumut itu dan menjatuhkannya ke bawah, mengenai kaang-karang yang menunggu. Amat yakin seminggu kemudian lumut-lumut itu akan berkembang biak dengan cepat dan ikan berkumpul disana. Bertelur dan beranak pinak serta siap unutk ditangkap. ( Pasaribu 2012:30). Dari kedua kutipan di atas, maka dapat kita lihat bagaimana pesan moral yang disampaikan oleh Ayah Amat kepadanya, begitu ia jaga dan laksanakan dengan baik, karena dengan begitu mereka bisa menikmati biota laut yang menjadi sumber kehidupan mereka. Hal tersebut juga Amat tanamkan kepada saudara-saudara dan anak-anaknya, bagaimana cara melestaikan kehidupan laut. Pesan moral itu dapat kita lihat pada kutipan berrikut. “Isi laut tidak akan pernah habis, asal kita mau menjaganya dengan baik,”Amat memberikan nasihat.”Itu sebabnya orang tua selalu mengajarkan kita untuk menanami bakau dan terumbu karang di habitatnya. Melihat karang-karang yang rusak, mereka tanami dengan yang baru. melihat bakau yang tertebang dan mulai bertunas, mereka jaga dengan baik. ( Pasaribu, 2012:123). Dari kutipan di atas jelas mengambarkan bagaimana Ayah Amat mengajarkan bagaimana menjaga dan melestarikan biota laut, agar bisa bertahan lebih lama. Amat pun begitu marah ketika melihat bakau yang ditebang tidak ditanami ulang, hal ini akan membuat keberlangsungan kehidupan biota laut akan rusak. Dia pun berusaha menghalau orang-orang yang merusaknya. Hal tersebut dapat kita simak pada kutipan berikut. “Amat sangat marah melihat pohon-pohon bakau ditebang sembarangan. Para penebang itu tidak sedikit pun menghiraukan Amat yang sedang mennami bibit-bibit bakau di sela hutan-hutan yang menggundul. “Ini baru kutanami, jangan kalian injak-injak! Kalau mau ambil bakau dari ujung sana atau tempat lain!”Amat merasa tak dihargai sama sekali oleh mereka yang rakus menebangi pohon bakau.” ( Pasaribu, 2012:213). Dari kutipan di atas tergambar jelas bahwa bagaimana kemarahan Amat terhadap orang-orang yang tidak menghiraukan menanam kembali biota laut yang telah ditebang dan diambilnya, bahkan mereka tidak menghiraukan peringatan Amat. Nilai moral terhadap alam begitu tertanam dalam lubuk hatinya, sehingga ia mau berkorban demi menjaga keberlangsungan kehidupan biota laut. Hal ini dapat kita lihat pada kutipan berikut. “Berdua mereka menanami buah yang bertunas itu dalam tanah lumpur yang lembut saat pasang tiba. Selebihnya, mereka bibitkan di lahan itu juga. Jika nanti sudah bertunas, akan mereka pijah dan tanami secara teratur. Mereka tak menghitungnya jumlah bibitnya, mungkin seratus, dua ratus, entas berapa. Mereka terus berputar mencari bibit-bibit bakau. Saat melintasi tepi air yang bening, Amat melihat masih ada beberapa karang yang hidup. Dia langsung menyelam dan meletakkan karang itu pada tempat yang tepat agar dapat tumbuh membiak. ( Pasaribu, 2012:249). Dari kutipan di atas tergambar bagaimana besarnya perhatian Amat terhadap keberlangsungan kehidupan biota laut. Ia pun begitu marah ketika menyaksikan biota-biota laut diambil seenaknya saja, tanpa ada penanaman dan penjagaan. Hal ini diperjelas pada kutipan berikut. “Panas menjalari dada Amat hingga ke ujung-ujung tubuhnya. Itu rasa marah dan kecewa. Bagaimana tidak, pohon-pohon bakau yang sudah ditanaminya beberapa waktu lalu, seenaknya saja ditebangi dan ditinggalkan begitu saja tanpa mau menanaminya kembali. Bertahun-tahun Amat menghabiskan hidupnya untuk menjaga dan menanami pepohonan bakau. Dia menebangi bakau itu hanya dibuat arang. Amat pun tidak pernah lupa untuk menanaminya kembali. “…..Amat bukan seorang pahlawan. Dia hanya ingin melakukan apa yang dia ketahui dari pesan-pesan leluhurnya untuk selalu menjaga keseimbangan kehidupan alam di pulau kelahirannya. Semampunya yang dia bisa. ( Pasaribu, 2012:251-252). Dari kutipan di atas dapat disimpulkan, bahwa nilai-nilai pendidikan moral yang tertanam di jiwa Amat sungguh sangat besar, ia tidak akan lupa pesan leluhurnya untuk menjaga keseimbangan alam. Ia akan berusaha semampunya untuk menjaga dan melestarikannya walaupun banyak rintangan menghadang di depan. Nilai pendidikan moral dalam novel ini dapat kita simak pada kutipan berikut. “ Allah Swt menciptakan langit dan bumi serta seluuh isinya. Allah juga menciptakan manusia beranak pinak dan bersuku-suku. Seharusnya manusia menjaga dan melestarikan bumi dengan sebaik-baiknya. (Pasaribu 2012:253). 3. Nilai Pendidikan Sosial Nilai sosial merupakan hikmah yang dapat diambil dari perilaku sosial dan tata cara hidup sosial. Perilaku sosial berupa sikap seseorang terhadap peristiwa yang terjadi di sekitarnya yang ada hubungannya dengan orang lain, cara berpikir, dan hubungan sosial bermasyarakat antar individu. Nilai pendidikan sosial dalam novel ini begitu erat terjadi antara penghuni Pincalang atau orang-orang pulau, mereka selalu saling membantu jika penghuni Pincalang mendapat marabahaya. Hal ini dapat kita simak pada kutipan berikut. ”Didarat sudah ada nelayan yang menunggu mereka. Beberapa orang siap menangkap ujung tali yang terlempar. Orang itu segera menangkap ujung tali dan menariknya, lalu mengikatkannya ke pohon kelapa. ……selain melihat situasi, dia juga harus menyapa temannya untuk berterima kasih. Keduanya disambut oleh orang-orang yang sudah lebih dahulu berlindung di pulau itu. Di gubuk itu ada tungku dan beberapa potong kayu kering. Biasanya di setiap pulau ada gubuk yang dibangun oleh mereka, dipelihara oleh mereka. Siapa pun mereka selalu menitipkan beberapa potong kayu kering di tempat terlindung. Itu sudah adatnya, adat yang tak tertulis. Selalu ditaati dan diikuti, kalau tak mau kualat. ( Pasaribu,2012:12-13). Dari kutipan di atas, telah tergambar bagaimana perilaku sosial antara nelayan satu dengan yang lain begitu erat, mereka dididik bagaimana berprilaku saling tolong menolong. Walaupun tidak saling mengenal, tapi dengan adanya komunikasi sosial antara mereka maka terjalinlah pertemanan dan persaudaraan yang kokoh. Hal ini dapat kita simak pada kutipan berikut. “….kemudian mereka menunggu Pincalang mana yang akan datang berlindung dan mereka memberikan perlindungan. Seperti sebuah perjanjian tak tertulis. Kenyataannya demikianlah adat. Tampaknya Amat dan Buyung baru pertama kali bertemu dengan orang-orang ini. Mereka bersalaman. Mereka memakai bahasa pesisir pantai barat di Lautan Hindia yang buas dan ganas itu. Walau jarak mereka berjauhan sampai ratusan bahkan ribuan mil, bahasa yang hampir sama itu dapat mereka mengerti satu sama lainnya, dengan dialek yang berbeda.” (Pasaribu,2012:13). Dari kutipan di atas dapat kita temukan sebuah nilai sosial antara nelayan Pincalang begitu terjalin harmonis dan membudaya walaupun tak saling kenal, mereka selalu saling membantu dikala yang lain tengah kesusahan. Jalinan komunikasi sosial akan selalu dipertahankan oleh mereka. Selain Saling gotong royong memperbaiki gubuk tempat persinggahan mereka, ada juga yang berpesan dan memberikan petunjuk ditengah laut antara satu dengan lain, siapa yang lebih bepengalaman biasanya selau memberikan petunjuk kapan terjadinya angin ribut atau yang lainnya. Hal ini dapat kita simak pada kutipan berikut. “Sembari berbicara pengalaman, mereka tak henti-hentinya memperbaiki atap gubuk yang terbuat dari kajang, daun pandan berduri yang dirajut menjadi atap agar tak bocor. Mereka mempersiapkan air panas, siapa tahu ada Picalang yang akan berlindung lagi ke pulau itu. “……Jika sudah ada yang mau secapatnya berangkat,silahkan saja. Jangan ke arah barat. Lebih baik ke utara atau ke selatan,” ucapnya pasti. Amat pun mengerti kalau dia seorang pawang laut. “…..jika berangkat sekarang dan langsung pakai layar lebar,silahkan. Secepatnya. Upayakan sampai dalam satu jam. Bila tidak, angin ribut akan mengamuk,”kata si gendut.” ( Pasaribu, 2012:14-15). Dari kutipan di atas, telah tergambar bagaimana perilaku sosial yang baik terjalin begitu erat antara nelayan, mereka tak lupa saling berpesan dan memberi peringatan satu sama lain, begitu pun ketika mereka menghadapi segerombolan perompak yang mau merampok penghuni Pincalang lain, mereka saling bahu membahu melawan dan melumpuhkan perompak tersebut. Hal ini dapat kita simak pada kutipan berikut. “ado apo, dusanak?” Amat berteriak menanyakan apa yang terjadi. “rompak di balakang,” kata mereka dari atas Pincalang. Amat lngsung memerintahkan kepada istrinya untuk membawa anak-anak dan dua perempuan lainnya ke puncak bukit dekat dengan air terjun kecil. …..Maryam yang juga sudah hafal pulau itu membawa dua perempuan lainnya dan empat anak-anak bersembunyi. “Kita hadapi mereka,”kata Amat. (Pasaribu, 2012:34-35). Perihal perilaku sosial Amat tersebut tidak sampai disitu, perilaku sosial yang baik yang dimiliki Amat akan selalu ia bawa, begitu pun ketika ia dan Maryam beserta anak-anaknya tinggal dan menetap didarat, ketika mereka menyekolahkan Buyung di sekolah formal, dalam pikiran Amat, ia ingin anaknya menjadi pintar dan mampu bersaing dengan orang-orang darat dalam hal pendidikan. Hal ini dapat kita simak pada kutipan berikut. “Buyung, anaknya, sudah berusia delapan tahun. Sudah saatnya dia bersekolah supaya pintar seperti anak-anak para tauke dan pembeli barang itu. Tahun depan anaknya yang kedua juga sudah bisa bersekolah. “Uang kita dari mana, Gek?” Maryam terkejut suaminya tiba-tiba saja mengemukakan pendapatnya menyekolahkan Buyung. Itu pertanda dia harus berpisah dengan Byung. “….Kenapa harus sekolah,membuang-buang uang?” “supaya Buyung jadi anak pintar. Dia bisa belajar di Sekolah.” (Pasaribu, 2012:97-98). Pada kutipan di atas, tergambar tekat bulat Amat untuk menyekolahkan Buyung agar bisa menjadi anak yang pandai, hai ini berarti pendidikan sosial bagi Amat sangatlah penting demi menunjang masa depan yang lebih baik. Tak lupa Amat tanamkan perilaku yang baik terhadap anaknya, ketika tinggal menumpang di rumah orang lain, ia mengajarkan bagaimana bersikap yang sopan dan pandai menjaga sikap dengan orang lain. Hal ini dapat kita simak pada kutipan berikut. “Buyung sedang melayani orang yang makan. Dia tersenyum melihat ayahnya datang. Dia menyalami ayahnya dengan santun dan bahagia sekali menerima bingkisan ayahnya. …..Amat sangat senang melihat anaknya pandai membawa diri saat menumpang di tempat orang. Ada rasa bangga dan rasa haru dihatinya. Dengan sudut matanya, amat melirik semua yang dikerjakan Buyung. Dalam hati Amat berbisik, sebentar lagi kau akan menjadi anak pintar, anakku. (Pasaribu, 2012:105) Amat memutuskan untuk tinggal di darat, artinya ia bersiap untuk hidup berdampingan dengan orang-orang darek sebutan untuk orang-oang yang hidup di darat yang selama ini mereka pandang sebagai orang-orang yang sombong dan tidak mau menghargai orang lain, namun hal tersebut ternyata tidak sepenuhnya benar. Hal ini dibuktikan Amat seperti pada kutipan berikut. “Tetangga mereka ramah-ramah. Berbeda dengan gambaran selama ini yang mengatakan orang darek itu sombong, suka menipu dan tidak mau menghargai orang lain. “Kita harus pandai-pandai bertetangga. Mereka juga manusia seperti kita. Mereka juga punya hati. “Ya.Ogek. Aku akan belajar pada mereka,”jawab Maryam. Tetangga juga senang ada orang pincalang yang mau menetap di daratan dan membaur dengan mereka. Kepala sekolah yang mereka hormati meminta agar kaum ibu mengajak Maryam mengaji dan ikut dalam berbagai kegiatan. Maryam dan Amat mendaftarkan dirinya ikut pendidikan pemberantasan Buta huruf. ( Pasaribu, 2012:114). Dari kutipan di atas, tergambar bagaimana sebuah perilaku sosial yang baik yang diterima Amat dan keluarganya ketika tinggal menetap di darat. mereka juga mendapat pendidikan guna memberantas buta huruf, agar tidak selalu diperbodohi oleh orang lain baik itu dalam perdagangan atau yang lainnya. Semangat Amat dan Maryam dalam belajar menulis, membaca dan berhitung ditunjukkan pada kutipan berikut. “Saat di darat, Amat rajin ikut Pemberantasan Butu huruf. Dia belajar dengan tekun. Amat dan Maryam sudah bisa membaca, walau masih lambat. Sudah pula bisa berhitung. ( Pasaribu, 2012:138). Jiwa sosial Amat yang begitu tinggi tidak hanya sampai disitu, ia bahkan berpikir bagaimana cara mengembangkan usahanya dan membantu orang-orang Pincalang yang selama ini selalu ditipu oleh para tauke sebutan untuk orang-orang cina dalam perdangangan dan merubah pola pikir mereka terhadap orang-orang darat yang tidak sepenuhnya benar bahwa orang-orang darek itu suka menipu dan sombong. Hai ini dapat kita simak pada kutipan berikut. “Ketika kembali ke pulau, otak Amat terus memikirkan apa lagi yang harus dia jadikan uang. Kesadaran Amat akan kekuatan uang sudah muncul. Dengan uang ia bisa berbuat banyak. Terutama kesadaran betapa teman-temannya, orang-orang Pincalang, selama ini dibodohi dan ditipu oleh para tauke. Untuk membawa mereka menetap di darat, sudah pasti akan mendapat tantangan berat. …..Rasa curiga terhadap orang-orang luar yang bukan orang Pincalang teteap terbangun. Semua orang yang bukan orang Pincalang tetap dianggap akan menipu mereka, walau akhirnya mereka tetap tertipu juga. Saat tertipu, mereka hanya bisa mengurut dada. Kecuali jika bertemu di tengah laut, biasanya penipu itu akan dihabisi nyawanya. Tanpa ampun. Jika semua orang Pincalang, mereka akan cepat menyatu dan beramah-tamah. Rasa senasib sepenanggungan terjalin dengan cepat dan mereka saling membantu. Banyak cerita yang akan berkembang di antara sesama mereka. Ada pahlawan dan penjahat, dilengkapi dengan bumbu-bumbu. ( Pasaribu, 2012:145-146). Dari beberapa kutipan dan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa jiwa sosial yang ada didalam tokoh utamanya yaitu Amat, bukan hanya kesesama penghuni Pincalang ia saling membantu tapi juga dengan orang-orang darat, yang dimana ia tetap menjaga perilaku yang baik ketika hidup bertetangga namun ia tidak lupa juga tetap menjalin hubungan baik dengan sesama penghuni Pincalang. Nilai pendidikan sosial yang dapat dipetik dalam novel ini adalah bagaimana Amat berjuang meyekolahkan Buyung agar menjadi anak yang pintar serta ia dan Maryam juga bersemangat dalam mengikuti pemberantasan butah huruf serta perjuangan Amat dalam merubah pola pikir orang-orang pincalang terhadap orang-orang darek yang tidak sepenunya benar dan berusaha meyakinkan mereka. 4. Nilai Pendidikan Budaya Nilai-nilai budaya merupakan sesuatu yang dianggap baik dan berharga oleh suatu kelompok masyarakat atau suku bangsa yang belum tentu dipandang baik pula oleh kelompok masyarakat atau suku bangsa lain sebab nilai budaya membatasi dan memberikan karakteristik pada suatu masyarakat dan kebudayaannya. Nilai budaya menempatkan pada posisi sentral dan penting dalam kerangka suatu kebudayaan yang sifatnya abstrak dan hanya dapat diungkapkan atau dinyatakan melalui pengamatan pada gejala-gejala yang lebih nyata seperti tingkah laku dan benda-benda material sebagai hasil dari penuangan konsep-konsep nilai melalui tindakan berpola. Nilai pendidikan budaya dalam novel ini begitu tercermin dalam pola dan tingkah laku tokoh-tokohnya yang ditandai dengan tinggal dan menetapnya mereka diatas Pincalang, lewat tradisi mengarungi lautan inilah mereka banyak belajar lewat tanda-tanda alam dan gejalanya, sehingga laut sebagai tempat tinggal mereka begitu sangat bernilai sehingga harus selalu dijaga kelestariannya. Hal ini dapat kita simak pada kutipan berikut. “Untuk kesekian kalinya mereka terombangambing di tengah lautan Hindia yang buas. Laut adalah dunianya. Laut adalah lahan hidupnya. Amat dan Maryam lahir dalam Pincalang. Seperti sudah terencana, anak mereka, Butung dan adik-adiknya, juga lahir di atas Pincalang. ( Pasaribu, 2012:8). Amat melebarkan hidungnya. Dia harus mencium bau karang. Walau Buyung berada di haluan dan pasti sedang mempersiapkan penciumannya, tapi dia lebih yakin pada penciumannya sendiri. ( Pasaribu, 2012:9). Dari kutipan di atas dapat kita lihat bagaimana Amat dan keluarganya mempunyai budaya yang turun termurun dari kakek dan orang tuanya, mereka lahir dan beranak pinak di atas Pincalang, lewat alam pula mereka banyak belajar dan ini merupakan sebuah tradisi yang akan mereka tetap pertahankan, yang dimana alam akan selalu memiliki tanda jika ingin beraksi. Hal ini dapat kita simak pada kutipan berikut. “Laut selalu memberikan aba-aba lebih dahulu sebelum memulai aksinya. Awan menggumpal dan angin mendesau terlebih dahulu. Manusia saja selalu salah mengerti, memperkirakan angin akan datang dengan kencang dalam dua jam kemudian, ternyata dalam setengah jam angin sudah menderu-deru. Hanya manusia laut yang berpengalaman yang mengerti apa keinginan laut. Keinginan alam lepas. ( Pasaribu,2012:10). Nilai budaya dalam novel ini perlahan mulai bergeser, hal ini ditandai dengan pemikiran Amat yang ingin tinggal dan menetap di darat, hidup berdampingan dengan orang-orang darek, ia pun berusaha menyakinkan kedua orang tua dan mertuanya akan keputusannya tersebut. Namun yang perlu kita perhatikan dalam novel ini adalah bagaimana Amat tak ubahnya menusia laut, yang ingin selalu dan selamanya menjaga keberlangsungan kehidupan biota-biota laut, walaupun modernisasi menghatam kota tempat tinggalnya, hutan bakau disapu bersih oleh kapal-kapal penguasa, karang dan rumput laut dikeruk tanpa ada penanaman dan pemeliharaan, justru pekerjaan mulia mereka dipandang sebagai hal yang konyol. Hal ini dapat kita simak pada kutipan berikut. “Modernisasi tak selamanya membawa berkah dalam hidup manusia. Pada awalnya, semua orang bergembira atas lahirnya sebuah modernisasi dalam hidup dan kehidupan manusia. ……banyak koperasi-koperasi berdiri untuk mendapatkan kredit dan menyapu habis biota-biota laut, tanpa memikirkan apakah esok lusa keadaan akan tetap seperti semula. Nyatanya, banyak terumbu karang yang rusak dan sulit untuk diperbaiki. Batin orang-orang Pincalang menjerit menyaksikannya. Mereka berusaha memperbaiki terumbu karang yang berserakan. Meletakkan ganggang-ganggang di sela-sela karang dan membiakkannya untuk makanan ikan. Pekerjaan mulia mereka justru menjadi bahan ejekan. Mereka dianggap konyol, tidak mau beralih dari kehidupannya. Setidaknya mereka bisa menjadi pekerja di atas kapal-kapal hasil kredit yang diamanahkan oleh keppres. (Pasaribu, 2012:251-252). Seperti yang telah dijelaskan diawal, bahwa seiring masuknya aman modernisasi tak sedikit pergeseran budaya dikalangan mereka. Pergeseran nilai budaya tersebut dapat kita lihat pada kutipan berikut. “Banyak yang sudah beralih dan mengubah tata kehidupan mereka. Mereka yang awalnya tidak mengenal mabuk-mabukkan, tidak mengenal perzinahan di warung-warung yang selalu buka dengan lampu yang meremang, kini pun berubah. Pekerjaan maksiat itu bahkan sudah mereka lakukan. (Pasaribu, 2012:255). Amat akan terus berjuang menjaganya karena lewat laut yang diciptakan Tuhan ia bisa beroleh kehidupan karena isi laut tak akan habis, selama dijaga dan dilestarikan. Itulah sebuah nilai pendidikan budaya yang tertanam dijiwa Amat, tradisi yang patut kita contoh. Nilai pendidikan budaya dalam novel ini dapat kita simak pada kutipan berikut. “Amat dan keluarganya adalah sosok yang terus berjuang untuk menjaga pesan-pesan dari leluhurnya. Pesan-pesan yang sangat sarat dengan norma kehidupan yang mereka miliki. Sudah barang tentu, pesan itu lahir dari lokal jenius yang melahirkan kearifan lokal pula. Baginya laut segala isi yang terkandung di dalamnya adalah sumber kehidupan yang memberikan kesejahteraan bagi manusia. Untuk itu, Amat berjuang untuk menjaga keasrian laut dengan merawat terumbu karang dan pohon-pohon bakau, tempat ikan-ikan dan bintang laut lainnya untuk berkembang biak. (Pasaribu,2012:253-254). Dari kutipan di atas tergambar jelas bagaimana Amat dan keluarganya, memiliki adat atau kebiasaan yang sangat bernilai, yaitu menjaga dan melestarikan kehidupan biota laut yang menjadi sumber dari kehidupan mereka. Sebuah catatan yang mengakhiri sebagai nilai pendidikan budaya dalam novel ini adalah sebagai berikut. “Amat yang lahir, besar, belajar mengaji, menikah, dan beranak-pinak di atas Pincalang hafal betul kondisi pulau-pulau disana dan hafal tentang cuaca dan menguasai seluk beluk laut. Dia dan keluarganya serta beberapa adik angkatnya berusaha keras bertahan untuk hidup sesuai dengan apa yang diamanahkan oleh leluhur mereka. Dari sebuah rumpun, ada yang dilahirkan sebagai orang yang berjuang dengan hatinya yang tulus. Amat termasuk salah satu orang yang berusaha untuk mempertahankan alam yang diciptakan oleh-Nya. Dengan keyakinannya yang teguh, dia berusaha mempertahankan kebenaran. (Pasaribu,2012:255).   C. Relevansi Hasil Penelitian dengan Pembelajaran Sastra di Sekolah Penelitian ini mengkaji tentang nilai-nilai pendidikan. Oleh karena itu, penelitian ini memiliki relevansi dengan dunia pembelajaran. Novel Pincalang karya Idris Pasaribu ini bagus dijadikan bahan pembelajaran di Sekolah, terutama karena isinya sangat kaya dengan pesan-pesan yang relevan dengan tujuan pendidikan di sekolah, yakni membentuk peserta didik untuk mencintai, menjaga, dan melestarikan alam atau lingkungan sekitar tempat tinggal, karena dengan begitu maka keberlangsungan kehidupan bisa terjaga dengan baik. Pembelajaran novel berdasarkan muatan kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) di SMA XI semester 1 memuat kompetensi dasar menganalisis unsur-unsur instristik dan unsur ekstrinsik novel Indonesia/terjemahan dengan indikator mampu menganalisis unsur instristik dan ekstrinsik novel Indonesia dan terjemahan sebagai bentuk karya sastra serta menjelaskan unsur-unsur instristik dan ekstrinsik novel Indonesia dan novel terjemahan. Dengan memahami nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam karya sastra khususnya novel. Pemahaman siswa akan tertarik dan lebih mudah memahami karya sastra. Pemahaman siswa terhadap nilai-nilai pendidikan dalam novel Pincalang akan membantu siswa dalam memahami nilai hikmat dan nilai manfaat yang disuguhkan pengarang lewat karyanya, seperti bagaimana sifat dan tindakan tokohnya, bagaimana tokoh menghadapi konflik, bagaimana sikap dan tindakan tokoh dalam menyelesaikan atau menghadapi masalah yang pada akhirnya siswa dapat mengidentifikasi dan menjelaskan unsur yang ada dan terjadi dalam kaitannya dengan kehidupan sehai-hari karena karya sastra yang baik adalah karya sastra yang dapat membekali siswa dengan sesuatu yang bermanfaat dalam kehidupan. Karya satra yang baik juga menarik karena diperoleh kenikmatan dan pemahaman. Pemahaman inilah yang perlu bagi siswa. Dengan memahami apa yang ada dalam sebuah karya sastra kemudian mewujudkannya dalam kehidupan. Maka siswa tersebut dikatakan mampu merealisasikan pesan yang diperoleh dalam kehidupan. Mengingat pentingnya arti nilai suatu karya sastra terhadap pola pikir yang dapat mendewasakan pembacanya khususnya para siswa yang disuguhkan pengarang, maka sudah sewajarnya pembelajaran sastra di sekolah harus dikembangkan. Dengan dijadikan hasil penelitian ini sebagai bahan pembelajaran di sekolah menengah atas (SMA) diharapkan siswa memiliki pengetahuan yang lebih mendalamai tentang nilai-nilai pendidikan itu sendiri yang bisa dijadikan sebagai bahan pembelajaran dalam kehidupan.   BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadapat novel Pincalang karya Idris Pasaribu dapat disimpulkan bahwa novel ini mengadung nilai-nilai pendidikan yang sangat bermanfaat bagi pembaca. Nilai-nilai pendidikan itu berupa; nilai pendidikan religius, nilai pendidikan moral, nilai pendidikan sosial, dan nilai pendidikan budaya. Nilai pendidikan religius/agama merupakan sesuatu yang dijungjung tinggi oleh tokoh utama daam novel ini dan menjadi tolak ukur benar tidaknya pola hidup dan tingkah laku dalam kehidupan yang merekan jalani. Nilai pendidikan agama juga haruslah ditanamkan sejak dini kepada seseorang, agar ketika dewasa ia bisa menjalankan agama dengan baik dan benar. Nilai pendidikan moral dalam novel ini adalah dengan menanamkan rasa cinta terhadap alam, khususnya biota-biota laut yang harus selalu dijaga dan dilestarikan demi keberlangsungan kehidupan biota laut, begitu besarnya perhatian mereka terhadap alam sekitarnya, mereka tak mau hanya mengambil saja tapi juga mau menanam serta menjaga tumbuhan-tumbuhan tersebut. Hal ini demi keberlangsungan hidup tumbuhan tersebut. Nilai pendidikan sosial dalam novel ini begitu erat terjadi antara penghuni Pincalang atau orang-orang pulau, mereka selalu saling membantu jika penghuni Pincalang mendapat marabahaya. Jiwa sosial yang ada didalam tokoh utamanya yaitu Amat, bukan hanya kesesama penghuni Pincalang ia saling membantu tapi juga dengan orang-orang darat, yang dimana ia tetap menjaga perilaku yang baik ketika hidup bertetangga. Nilai pendidikan budaya dalam novel ini begitu tercermin dalam pola dan tingkah laku tokoh-tokohnya yang ditandai dengan tinggal dan menetapnya mereka diatas Pincalang, lewat tradisi mengarungi lautan inilah mereka banyak belajar lewat tanda-tanda alam dan gejalanya, sehingga laut sebagai tempat tinggal mereka begitu sangat bernilai sehingga harus selalu dijaga kelestariannya. Amat akan terus berjuang menjaganya karena lewat laut yang diciptakan Tuhan ia bisa beroleh kehidupan karena isi laut tak akan habis, selama dijaga dan dilestarikan. Itulah sebuah nilai pendidikan budaya yang tertanam di jiwa Amat, tradisi yang patut kita contoh. Dalam novel Pincalang, yang mendominasi nilai pendidikannya adalah nilai pendidikan budaya. Nilai budaya dalam novel tersebut sangat begitu di pertahankan oleh Amat dan keluarganya, mereka tak pernah lupa dengan adat yang diwarisi dari nenek moyang mereka, walaupun modernisasi menghantam begitu pesatnya, tapi mereka selalu menjaga kearifan lokal budaya yang menjadi identitas dari orang-orang pincalang. B. Saran Berdasarkan kesimpulan di atas, maka peneliti menyarankan beberapa hal sebagai berikut: 1. Perlu adanya peningkatan dalam penelitian sastra pada umumnya dan penelitian novel pada khususnya. 2. Hasil penelitian yang dilakukan terhadap novel Pincalang karya Idris Pasaribu dengan judul nilai-nilai pendidikan dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran di sekolah khususnya dalam menganalisis unsur-unsur instristik dan ekstrinsik karya sastra. 3. Penelitian ini meniti beratkan pada nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam novel. Oleh karena itu, melalui hasil penelitian ini peneliti berharap agar penelitian terhadapat unsur-unsur lain dapat dilakukan oleh peneliti selajutnya.   Lampiran SINOPSIS NOVEL PINCALANG KARYA IDRIS PASARIBU Amat seorang pelaut yang lahir dan dibesarkan di atas Pincalang atau perahu. Ia hidup dari pulau ke pulau, membuat kopra, memasak minyak, menangkap ikan, dan membuat ikan asin. Mereka membuat arang dari kayu bakau yang sangat terkenal keharumannya dan sedikit sekali mengeluarkan asap. Mereka diajarkan kearifan lokal untuk menjaga laut agar mendapatkan yang terbaik dari alam. Mereka mengarungi lautan dengan melihat tanda-tanda alam. Selama hidupnya, Amat ikut dengan ayahnya mengelilingi lautan. Diatas perahu itu ia dilahirkan ibunya. Sejak berusia lima tahun, di atas perahu itu pula dia belajar shalat dan mengaji dari ibunya. Ayah Amat mengajarinya menarik turunkan layar, mengemudi, melihat bintang, merasakan angin dan belajar mencium bau karang dari haluan, lambung, dan buritan. Ia manusia Pincalang yang menghabiskan hidupnya di atas perahu. Ketika Amat dewasa, ia pun dinikahkan dengan seorang gadis pilihan ayah dan ibunya yang bernama Maryam, ia pun tak menolaknya. Maryam gadis yang cantik, ia juga seorang gadis yang sholehah dan pandai memasak serta pintar berjualan, itu sebabnya orang-orang mengatakan pernikahan Amat dan Maryam bagaikan periuk bertemu dengan tutupnya. Klop. Ujian terberat setelah mereka menikah adalah mnegarungi lautan hanya dengan berdua saja, karena mereka telah diberi Pincalang dari Ayah Amat, mereka pun mengarungi lautan, namun filosofi hidup berkeluarga; mengarungi samudra luas dengan berbagai rintangan dan cobaan. Hujan. Angin. Petir. Badai. Ombak. Jika takut memerjang ombak, maka jangan lepaskan jangkar untuk berlayar. Begitu pesan para tetua sejak dulu. Setelah beberapa bulan menikah, mereka dikaruniai tiga orang anak, yang sulung serorang pria yang diberi nama Buyung, dan dua orang putri. Setelah cukup usia, Buyung akhirnya di sekolahkan oleh Amat, di sekolah Pelayaran, seperti yang dicita-citakannya. Amat yang terus berpikir mengenai kehidupan, ia tidak ingin terus diperbodohi oleh orang-orang darek sebutan untuk orang-orang darat dan para tauke sebutan untuk orang-orang Cina. Ia akhirnya memilih untuk tinggal di darat bersama Isteri dan anak-anaknya. Hal tersebut sempat mendapat kecaman dan larangan dari kedua orang tua dan mertuanya, selama ini mereka mengganggap orang-orang darek tidak ada yang baik, namun berkat kerja keras Amat, akhirnya mereka mau mengerti keinginan Amat dan dengan pembuktian kerja keras dengan gigih, Amat pun cukup sukses di dunia perdagangan. Terbukti kini mereka memiliki Kapal Keppres, yang diberi nama K.M. Pincalang yang memiliki tenaga mesin. Buyung pun di daulat menjadi Nahkodanya setelah ia lulus di SMPP (Sekolah Menengah Pelayaran Pertama). Semua keluarga, teman-teman Buyung, dan orang-orang yang selama ini membantu dan mendukung Amat turut hadir dalam pelayaran perdana K.M. Pincalang, yang akan melalui rute Nias, Meulaboh. Hingga suatu ketika modernisasi itu menghantam, para kapitalis berlomba mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya, tanpa memperrhatikan akibatnya. Hutan bakau digunduli, biota laut disapu habis. Alam menangis, tak sanggup lagi memberikan yang terbaik unutk manusia. Amat pun geram melihat kondisi laut yang semakin rusak oleh tangan-tangan jahil para penguasa, yang tidak menjaga ekosistem laut, jelas ini menyalahi pesan tetua orang-orang pincalang, yang secara turun temurun berpesan kepada anak cucunya dan mereka diajarkan oleh kearifan lokal untuk menjaga laut agar mendapatkan yang terbaik dari alam. Lewat pesan inilah bagaimana Amat ingin selalu dan selamanya menjaga kehidupan laut. Hingga perlawanan Amat terhadap penguasa tak bisa terelakkan, ia pun dicari dan hendak ditangkap untuk dijebloskan kepenjara, agar tidak berkotek lagi, karena bisa membahayakan penguasa. Namun Amat yang tak takut dengan ancaman itu, Ia pun melakukan perlawanan, sehingga banyak menewaskan para petugas yang ingin menangkapnya, namun sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya bisa jatuh juga, Amat pun berhasil ditangkap dan diadili, selama tujuh tahun kurungan penjara yang diterimanya, banyak pelajaran yang diperolehnya disana. Kebebasan dan menanam kembali. Ia dijemput oleh Isteri dan anak-anaknya, sedih, senang, bahagia bercampur aduk, ketika ia digiring menuju ke mesjid, untuk menyaksikan anak sulungnya dinikahkan dengan anak Tuan haji yaitu Salamah Binti haji Ahmad Palindih yang banyak memberinya nasihat dan banyak membantunya selama ini. Setelah perlehatan pernikahan Buyung, Amat hendak kembali berlayar dan menanam kembi biota-biota laut yang sudah banyak digunduli oleh mesin-mesing pemotong, bagi Amat, alam adalah napasnya yang dicintai sepenuh jiwa raganya. Apa yang diberikan alam kepadanya adalah berkah dari Allah SWT. Tak ada kebahagiaan yang dicarinya lagi selain melihat pohon bakaunya kuat tertancap dan memberi naungan bagi biota laut dibawahnya. Modernisasi tak selamanya membawa berkah dalam hidup manusia. Pada awalnya,semua orang bergembira atas lahirnya sebuah modernisasi dalam hidup dan kehidupan manusia, banyak koperasi-koperasi berdiri untuk mendapatkan kredit dan menyapu habis biota-biota laut, tanpa memikirkan apakah esok lusa keadaan akan tetap seperti semula. Nyatanya, banyak terumbu karang yang rusak dan sulit untuk diperbaiki. Batin orang-orang Pincalang menjerit menyaksikannya. Mereka berusaha memperbaiki terumbu karang yang berserakan. Meletakkan ganggang-ganggang di sela-sela karang dan membiakkannya untuk makanan ikan. Pekerjaan mulia mereka justru menjadi bahan ejekan. Mereka dianggap konyol, tidak mau beralih dari kehidupannya. Setidaknya mereka bisa menjadi pekerja di atas kapal-kapal hasil kredit yang diamanahkan oleh keppres. Amat dan keluarganya adalah sosok yang terus berjuang untuk menjaga pesan-pesan dari leluhurnya. Pesan-pesan yang sangat sarat dengan norma kehidupan yang mereka miliki. Sudah barang tentu, pesan itu lahir dari lokal jenius yang melahirkan kearifan lokal pula. Baginya laut segala isi yang terkandung di dalamnya adalah sumber kehidupan yang memberikan kesejahteraan bagi manusia. Untuk itu, Amat berjuang untuk menjaga keasrian laut dengan merawat terumbu karang dan pohon-pohon bakau, tempat ikan-ikan dan bintang laut lainnya untuk berkembang biak. Amat yang lahir, besar, belajar mengaji, menikah, dan beranak-pinak di atas Pincalang hafal betul kondisi pulau-pulau disana dan hafal tentang cuaca dan menguasai seluk beluk laut. Dia dan keluarganya serta beberapa adik angkatnya berusaha keras bertahan untuk hidup sesuai dengan apa yang diamanahkan oleh leluhur mereka. Dari sebuah rumpun, ada yang dilahirkan sebagai orang yang berjuang dengan hatinya yang tulus. Amat termasuk salah satu orang yang berusaha untuk mempertahankan alam yang diciptakan oleh-Nya. Dengan keyakinannya yang teguh, dia berusaha mempertahankan kebenaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar